Feeds:
Posts
Comments

Grand Bargain 2.0. Pro-Local Upgrade


Tomorrow, the 2021 Grand Bargain will kick off, launching the deliberations on Grand Bargain 2.0. That got me in a reflective mood and with it, my hopes for its real upgrade, being Pro-Local that is. 

SEJAJAR, an Indonesian CSOs/NGOs network-of-networks, teaming up with OXFAM Asia, organises a series of three regional Asia Webinars on Local Humanitarian Leadership (LHL).  Hundreds of participants from the government, local and international CSOs, the business sector and more shared views, debated, and groped for practical solutions. It has been a good gig. 

Nope, this is not a pity party where we have a cyclical diagnosis of what is wrong and then we all end up sad about the state of affairs. We said, “State the problem and together let us think of practical solutions that will have short and long term milestones.. 

In a way we are operationalizing and “testing” the dimensions of the Grand Bargain 1.0. 

Some of “dramatic” reflections from the discussions are the following:

The Theatre. People attach different meanings to “local”, but they seem to agree that it is living life’s trials, surviving, and continuing to live with crises. Accidents, incidents, disasters and other crises happen here. These events are all local, some become national headlines, and a very few become international concerns, they become a “humanitarian crisis”, you call it such. 

The Scenario. At the local level, emergency and crisis preparedness, response and recovery, even the so-called humanitarian crisis, overlap and interlink with climate change adaptation, peace building, social progress; all under a large tent of sustainable development. So, any “humanitarian action” in this regard, must take the whole spectrum approach, to be enriched by the complex perspectives.

The Plot. When a crisis happens, local government, organisations and communities are the first and frontmost responders; they organise themselves and do the best that they can, with whatever they have.  If – and if only, the situation is so grave, this otherwise local event is nationalised – or internationalised, into “humanitarian response”, usually with the arrival of external response capabilities. 

The Actors. Here in the localities, there are governments, CSOs/NGOs and communities that are fairly organised. They might be shaken during crises, but more or less are stable and intact. They are our crisis responders. Most of them do not fit snuggle into the conventional categories and network of “humanitarian actors”.

The Twist. The international humanitarian actors bring in principles and standards, structure, resources and ways of working that are often alien to the locality.  They say that standards and accountability compel them to trust only local partners and leaders who look and do like them: large organisations, sophisticated, and even speak the same language and jargons. 

So what does it have to do with the Grand Bargain 2.0.? Everything, really. This is the right time to reframe the humanitarian crisis, action, response, and actors. Participants of the Asia webinar series, plus my own reflections, reckon that Grand Bargain 2.0. will really be an upgrade into Pro, only when:

  1. You respect local leaders, whom you do not consider as local humanitarian leaders simply because they are outside of your network.  In Asia, humanitarian responses are led by the government and major local CSOs/ NGOs or networks whose portfolios are not humanitarian. 
  2. You contribute to, and enrich, the coordination of national and local governments, CSOs/NGOs, and communities, in their comprehensive development spectrum spanning from peace time, crisis, and sustainable recovery using approaches like the locally-led Area Based Coordination.
  3. You strengthen local capacities through multi-year programming and invest more in their better preparedness and institutional strengthening to have better long term return of investments.
  4. You acknowledge and invest in local actors and leaders to be better organised, become more viable, and capable  instead of creating  or recruiting organizations in your image (Mini-Me)
  5. You  steer the clusters to adapt to the local and national leadership;  provide platforms for technical collaboration and enrichment of standards and practices grounded on localities.
  6. You help local leaders in the driver’s seat, yet still have the solidarity by means of funding through leveraging the years of expertise and lobbying power, network and international solidarity while also helping them mobilise local sources and pooled funding.   
  7. You recognise and support women ‘s rights organizations as capable local humanitarian leaders; and  help  ensure that they have access to resources, have a voice and roles.
  8. You lessen your humanitarian bureaucratic system that is often based on distrust, hence the massive industry of accountability mechanisms with lengthy reports, etc., and, perhaps, you even let remote island people to report via a video clip or through a poem?
  9. You include downward accountability to communities as an integrated part of your stewardship of humanitarian imperatives, methods of doing, and its resources. 
  10. You consider personnel of local CSOs/NGOs as much as you value your own personnel, in the face of this raging pandemic, and come up with an equal package and compensation for the risk and hazards in delivering humanitarian assistance.

When Grand Bargain 2.0 changes your mindsets, funding models and ways of working to appreciate this reality, then you – together with all of us at the local level, through various platforms such as the NEAR Network, could work more effectively in reducing the impacts of the crisis to humanity, just maybe.


Puji Pujiono is a Senior Advisor to the Pujiono Centre, a founder and proponent of the SEJAJAR Network-of-Networks, a member of NEAR Network,  as well as the Indonesian Development-Humanitarian Alliance.

The Asia Webinar Series on Local Humanitarian Leadership is a collaborative activity of Indonesia’s SEJAJAR Network and OXFAM Asia. The series  aim to promote networking with other LHL allies and champions in Asia and beyond, and to jointly design actions plans and longer-term programs to transform the humanitarian system to be locally led.

 

Dihimpun dari berbagai sumber oleh Dr. Puji Pujiono, MSW

Sebagai bagian dari kajian Naskah Akademik RUU Pekerjaan Sosial

Update: Januari 2019

 

MALAYSIA

 

Pelayanan sosial profesional di Malaysia diperkenalkan oleh pemerintahan jajahan Inggris pada awal tahun 1930-an dengan focus pada masalah buruh migran dari India dan China. Setelah Perang Dunia II, ketika masalah migrasi, kenakalan remaja dan kemiskinan menjadi lebih mengedepan, maka didirikan Departemen Kesejahteraan Sosial pada tahun 1946. Pelayanan sosial diperkenalkan dalam hal bantuan keuangan bagi yang membutuhkan, program bimbingan untuk anak-anak nakal, rumah perlindungan bagi perempuan dan gadis, dan rumah perawatan bagi penyandang cacat dan lanjut usia.

 

Spesialisasi pertama dalam pekerjaan sosial dimulai pada awal 1950-an dengan pekerja asing dari Inggris yang ditempatkan di rumah sakit pemerintah daerah sebagai ‘Almoners’ dan secara bertahap setelah pemerintahan Inggris berakhir mereka digantikan pleh pekerja sosial setempat yang terlatih. Spesialisasi kedua adalah dalam pekerjaan bimbingan anak-anak nakal, di mana petugas kesejahteraan dikirim ke luar negeri untuk pelatihan khusus.

 

Almoners telah membentuk badan profesional pertama bagi pekerja sosial, Asosiasi Almoners Malaya (MAA) pada tahun 1955. Pada akhir 1960-an itu kembali bernama Asosiasi Pekerja Sosial Medis Malaysia  (MAMSW) yang berhasil berjuang untuk program pelayanan profesional dalam system kepegawaian. Pada awal 1970-an, pekerja sosial medis mendirikan sebuah badan nasional untuk menyertakan rekan-rekan mereka dari kesejahteraan sosial, penjara dan pendidikan pekerjaan sosial. Asosiasi Pekerja Sosial Malaysia  (MASW) terbentuk pada 3 Maret 1973.

 

MASW terdaftar sebagai anggota afiliasi dari Federasi Internasional Pekerja Sosial (IFSW) sejak Juli 1974 dan anggota rekan daari Pekerja Sosial Comonwealth sejak tahun 1993, dan memiliki perwakilan di Komite Eksekutif Asia Pasifik IFSW.

 

Kementerian Perempuan, Keluarga dan Pengembangan Masyarakat (MWFCD), dengan kerjasama dari Departemen Kesejahteraan Sosial (DSW), yang Asosiasi Pekerja Sosial Malaysia  (MASW) dan UNICEF memperkenalkan era baru profesionalisme dalam pekerjaan sosial didasarkan pada praktik terbaik internasional berbasis kompetensi. Inisiatif ini bertujuan untuk mencapai efek positif dalam pengelolaan masalah sosial yang semakin kompleks yang timbul dari perubahan global yang cepat.

 

Kabinet telah menyetujui beberapa proposal dari MWFCD pada 23 April 2010:

  • Membangun Standar Kompetensi Nasional untuk Praktek Pekerjaan Sosial;
  • Memberlakukan Undang Undang Pekerja Sosial untuk menerapkan standar kompetensi;
  • Membentuk Dewan Pekerjaan Sosial di bawah Undang-Undang untuk mengatur praktisi dan pendidik pekerjaan sosial;
  • Membakukan program pendidikan pekerjaan sosial di lembaga-lembaga pendidikan tinggi;
  • Departemen Layanan Umum (PSD) merekrut pekerja sosial berkualitas ke dalam sektor publik;
  • Institute Sosial Malaysia mendirikan lembaga pelatihan terakreditasi lainnya untuk menawarkan program kerja sosial di tingkat sertifikat dan diploma

http://www.masw.org.my/

 

PHILIPPINES

 

Pada tahun 1947, tujuh dari delapan pekerja sosial yang belajar ke Amerika Serikat sebelum perang membentuk Asosiasi Pekerja Sosial Filipina (PASW) dan pada tahun 1950 didirikan sekolah School of Social Work. Luluan petamanya diuji oleh Lembaga Administrasi Negara pada tahun 1956.

 

Undang-Undang 4373 tahun 1965, atau dikenal sebagai Undang-Undang Pekerjaan Sosial,  adalah pengakuan dan pengaturn tentng praktek pekerjaan sosial dan pengoperasian lembaga kesejahteraan sosial di Filipina. Tanggal ini dikenal sebagai hari Nasional Pekerjaan Sosial  yang dipandegani oleh Asosiasi Pekerja Sosial Filipina, Inc (PASWI)

 

Undang-Undang ini mendefinisikan Pekerjaan Sosial sebagai profesi yang terutama berkaitan dengan kegiatan pelayanan kesejahteraan sosial yang terorganisasi yang bertujuan untuk memfasilitasi dan memperkuat hubungan sosial dasar dan penyesuaian timbal balik antara individu dan lingkungan sosial mereka untuk kesejahteraan individu dan masyarakat.

 

Pekerja Sosial didefinisikan sebagai seorang praktisi yang mendapatakan pelatihan akademis diakui dan memiliki keterampilan dan pengalaman profesional untuk mencapai tujuan seperti yang didefinisikan dan ditetapkan oleh assosiasi profesi pekerjaan sosial.

 

Pekerja sosial menggunakan metode dasar dan teknik pekerjaan sosial (poengelolaan kasus, pekerjaan dengan kelompok, dan pengorganisasian masyarakat) yang dirancang untuk memungkinkan individu, kelompok dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mereka dan untuk memecahkan masalah penyesuaian dengan pola perubahan masyarakat. Melalui tindakan terkoordinasi pekerja sosial menghubungkan klien dengan pelayanan sosial terorganisir yang didukung sebagian atau seluruhnya dari dana pemerintah atau masyarakat.

Pekerjaan Sosial memerlukan sertifikat yang sah dari pendaftaran sebagai pekerja sosial yang dikeluarkan oleh asosiasi profesi, lulus ujian yang disaselenggarakan oleh Dewan Penguji untuk Pekerja Sosial dalam rangka untuk medapatkan oengakuan praktik di Filipina. Peserta ujian harus memegang gelar sarjana dalam pekerjaan sosial dengan jangka waktu minimal 1.000 jam praktek lapangan di bawah pengawasan langsung dari seorang pekerja sosial yang terlatih dan berkualitas.

 

Undang Undang ini dilengkapi lebih jauh dengan Undang-Undang Nomor 5175 tahun 1967 yang memasukkan perlindungan hak-hak pekerja sosial dan penetapan jenjang kualifikasi pemegang gelar master pekerjaan sosial dan pembentukan suatu “Board of Examiners”.

 

RA 9433 pada tahun 2007,  atuau yang diesbut dengan Magna Carta Pekerja Sosial, adalah penetapan resmi tentang status pekerja sosial yang terdaftar, pengisian kedudukan professional pekerjaan sosial doi lambaga-lembaga pemerintah penetapan imbalan dan gaji serta perlindungan hukum bagipekerja sosial serta penetapan jenjang karir mereka.

 

http://www.academia.edu/7655438/History_of_Social_Welfare_and_Social_Work

 

SINGAPORE

 

Pelayanan keejahteraan sosial diselenggarakan di Singapore berdasarkan bukan hanya sekedar peningkatan taraf kehidupan bagi individu dan kelompok-kelompok kecil dalam isolasi melainkan juga dengan meningkatkan potensi mereka untuk berkontribusi terhadap pengembangan dan integrasi masyarakat yang lebih luas di mana mereka berada.

 

Ketika Singapura masih menjadi jajahan Inggris, kesejahteraan sosial difokuskan pada penguatan kesejahteraan Klan keluarga; diikuti oleh perlindungan anak-anak Cina migran korban perang, dan bantuan untuk orang miskin pasca-Perang Dunia II. Selama periode ini pelayanan sosial berhadapan dengan kenyataan diamna se bagian besar penduduknya mempunyai standar hidup ditandai dengan gizi buruk, kemiskinan, pengangguran, buta huruf, dan eksploitasi. 

 

Pekerjaan sosial sebagai profesi terorganisir di Singapore dimulai pada tahun dengan kedatangan para ‘almoners’ dari Inggris pada tahun 1949, dan pada tahun 1953 sekelompok almoners mulai memformalkan bergerak menuju mengembangkan praktik pekerjaan sosial. Pelatihan formal pekerja sosial di kemudian University of Singapore mulai tahun 1952, diikuti dengan pembentukan Asosiasi Pekerja Sosial Singapore pada tahun 1971.

 

Filsafat kesejahteraan di Singapura didasarkan pada konsep ‘Many Helping Hands’ yang mencerminkan kemitraan antara banyak pihak termasuk pemerintah, organisasi kesejahteraan sukarela, dan organisasi berbasis etnis serta perusahaan bisnis sebagai bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan mereka. Dari perspektif pembangunan manusia dalam pendekatan ekologi layanan untuk individu tidak dapat difokuskan pada individu saja tetapi juga ber fokus pada keluarga dan masyarakat di mana mereka hidup dan berkembang. Kementerian Pembangunan Masyarakat, Pemuda dan Olahraga memfirmalkan Standar Nasional Perlindungan Anak yang menetapkan kerangka kerja untuk memastikan praktek yang baik and penyelenggaraaan kerjasama dari sistem hukum, polisi, lembaga perlindungan anak di masyarakat, sekolah, sektor swasta dan sukarela, lembaga layanan kesehatan, dan masyarakat.

 

Dalam hal perlindungan anak, Pekerja Sosial yang berperan sebagai Petugas Perlindungan dan Kesejahteraan Anak di Kementerian, bertindak sebagai manajer kasus yang memastikan tindak lanjut dari semua kasus melalui konferensi kasus rutin dengan tim penyalahgunaan dan perlindungan anak yang terdiri dari berbagai profesi multidisiplin dari instansi pemerintah dan masyarakat ke rumah sakit. Para pekerja sosial yang terlibat dalam pekerjaan perlindungan anak bekerja dalam konteks multidisiplin dengan profesional dari sistem perawatan lainnya seperti rumah sakit, pengadilan, kepolisian, sekolah, lembaga masyarakat pelayanan sosial, pembuat kebijakan, media, dan masyarakat. 

 

Dalam hal pelayanan keluarga, penekanan diberikan kepada system pemikiran Konghucu sebagai masyarakat patriarkal yang menjunjung tinggi nilai-nilai tradisional dan konservatif menekankan peran keluarga daripada ketergantungan pada Negara, dan memandang keluarga sebagai unit dasar dari masyarakat. Hal inilah yang ditekankan oleh pemerintah dalam wacana pembangunan bangsa.

 

Pelayanan masyarakat mulai digalakkan pada tahun 1970 bersama dengan perkembangan pesat dari kota-kota baru setelah kemerdekaan. Implikasi sosial yang perlu ditangani adalah adanya sebagian besar penduduk yang tinggal di rumah-rumah susun, lingkungan ysng sangat padat termasuk menipisnya rasa ‘kemasyarakatn’, kelangkaan dukungan sosial dalam masyarakat, isolasi sosial, dan kurangnya kepemilikan mengenai ruang publik dan lingkungan. Pekerja sosial terlibat melalui Asosiasi Pembangunan Masyarakat serta melalui penyediaan layanan sosial berbasis masyarakat dan pembangunan wilayah di mana, misalnya , pekerja sosial memfasilitasi sejumlah program bantuan sosial unutk membantu pengguna jasa untuk memobilisasi dan memaksimalkan sumber daya lokal dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sosial dan keluarganya.

 

Para pekerja sosial di Singapura merayakan Pekerja sosial pertama “Hari mereka pada tanggal 20

Januari 2007. Singapura Asosiasi Pekerja Sosial (SASW) adalah memasuki tahun ke-39 keberadaannya, setelah mengambil alih dari Malayan Asosiasi Almoners (MAA), Asosiasi Pekerja Sosial Profesional (APSW) dan Asosiasi Singapura Pekerja Sosial Medis (SAMSW) . Ia bekerja sama dengan universitas dan lembaga-lembaga pelayanan sosial untuk memastikan peluang penempatan memadai dan efektif bagi siswa. SASW telah datang jauh dalam upaya untuk mendaftarkan pekerja sosial. Pada awal tahun 2003, SASW berhasil menangkap sekitar 65% keanggotaan dari perkiraan 600 berlatih pekerja sosial dan sejumlah kecil orang-orang yang telah meninggalkan profesi tetapi mempertahankan afiliasi mereka dengan Asosiasi. Prioritas SASW adalah untuk memastikan bahwa siswa pekerjaan sosial dan mulai pekerja sosial mendapatkan dukungan profesional yang diperlukan untuk pertumbuhan profesional dan pengembangan pribadi.

 

Dewan Pelayanan Sosial dan Dewan Sosial Nasional (NCSS) memainkan peran penting untuk mengkoordinasikan layanan, standar dan pelatihan antara afiliasinya. Sementara lembaga sosial yang menawarkan layanan serupa datang bersama untuk membahas norma dan standar praktik, lembaga memiliki beberapa norma inti umum memiliki berbagai set latihan. SASW berkontribusi dalam cara yang lebih kecil karena tidak semua kepala posisi lembaga pelayanan sosial yang diisi oleh pekerja sosial

 

Dewasa ini minat untuk berpindah profesi menjadi pekerja sosial pada pertengahan karir meningkat dengan pesat. Orang semakin ingin pekerjaan yang tidak hanya tumbuh secara profesional, tetapi juga menyentuh kehidupan. Peningkatan gaji dan kemajuan karir juga membuat pekerjaan sosial lebih menarik.

 

Asosiasi Pekerja Sosial SIngapore bertujuan untuk menumbuhkan komunitas Pekerja Sosial yang ikut serta dalam mendorong praktik pekerjaan sosial yang terbaik di bidangnya masing-masing, merekrut, membina, dan mengembangkan setiap Pekerja Sosial dan juga dalam memberikan perlindungan bagi mereka.

 

Kerangka Kerja Nasional Kompetensi Sosial (NSWCF) memberikan bimbingan dan panduan pengembangan krir pekerja sosial di berbagai bidang, seperti kesehatan dan organisasi pelayanan sosial berbasis komunitas.


THAILAND

 

Praktik pekerjaan sosial adalah untuk memastikan bahwa pelayanan kesejahteraan sosial bukan sekedar menjadi salah satu strategi politik  melainkan juga sebagai praktik yang kompatibel dengan keunikan budaya politik dan pembangunan demokrasi. Asal pekerjaan sosial profesional berasal dari ideologi nasionalisme pemerintah pada tahun 1938 ketika pelayanan sosial dimaksudkan untuk menciptakan dukungan publik dan memperkuat negara Thailand.  Maka dibentuklah Departemen Kesejahteraan Masyarakat (DPW) pada tahun 1944 sebagai lembaga pemerintah di mana sebagian besar pekerja sosial bekerja. Saat ini, ada sekitar 2.600 pekerja sosial yang tersebar di seluruh lembaga kesejahteraan sosial pemerintah, termasuk pemerintah daerah. Sisanya termasuk mereka yang bekerja dalam praktek terkait seperti pekerja pengembangan masyarakat, pekerja sosial, serta mereka yang bekerja di LSM.

 

Perkembangan profesi pekerjaan sosial di Thailand kemudian terkait erat dengan pembangunan kesejahteraan sosial yaitu UU Pembangunan Kesejahteraan Sosial tahun 2003 dan 2007, dimana Kesejahteraan Sosial didefinisikan sebagai sistem pelayanan sosial yang berkaitan dengan pencegahan, penyalahgunaan Napza, pengembangan, dan penyediaan system jaminan sosial demi pemenuhan kebutuhan minimum rakyat untuk memungkinkan kualitas yang baik hidup dan kemandirian.

 

Kesejahteraan sosial di Tahiland dirancang untuk menjadi sistem yang luas, tepat, adil, dan sesuai dengan standar dalam hal pendidikan, kesehatan, perumahan, pekerjaan dan pendapatan, rekreasi, proses peradilan, dan pelayanan sosial umum yang memperhatikan martabat manusia dan hak rakyat untuk hak-hak dan partisipasi dalam penyediaan kesejahteraan sosial di setiap tingkatan.

 

Thailand hampir memulai suatu system kesejahteraan pada tahun 1932, ketika Revolusi Siam yang mengakhiri monarki absolut di bawah dinasti Chakri yang telah berusia 150 tahun. Pada waktu itu disusun sutu rencana ekonomi yang dimaksudkan untuk menciptakan jaminan kesejahteraan untuk setiap waganegara yang menjadi langkah pertama dalam membangun Negara kesejahteraan. Disayangkan bahwa rencana ini disalahartikan sebagai sebagai paham Bolshevic dan ditimpali dengan rasa ketakutan akan komunisme sehingga tidak dilanjutkan. Seandainya rencana secara bertahap untuk membangun negara kesejahteraan ini terlaksana, mungkin sekarang Thailand telah memiliki negara kesejahteraan seperti banyak negara Eropa dan profesi pekerjaan sosial mungkin telah diakui dalam cara yang sama seperti di negara-negara Eropa.

 

Selanjutnya kesejahteraan sosial di Thailand diwarnai oleh konsep pertumbuhan ekonomi sejak tahun 1957 sejak konsultan dari Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (IBRD atau Bank Dunia) menyarankan Rencana Ekonomi Nasional berdasarkan paham efek trickle-down, penafsiran yang sempit tentang kesejahteraan sosial demi memaksimalkan pertumbuhan ekonomi. Orang miskin dianggap tidak dapat menyesuaikan diri dengan ekonomi pasar dan rentan untuk menjadi penjahat atau pekerja seks. Interpretasi sempit tentang kesejahteraan sosial dan pekerjaan sosial ini menimbulkan kabaian tentang keadilan sosial.

 

Kemudian Thailand menikmati booming ekonomi namun pemerintah tidka mengutamakan kesejahteraan rakyat karena sebagian besar tenaga kerja berada di sektor informal, wiraswasta, atau bekerja di bidang pertanian.  Elite birokrasi bepandangan bahwa mengatur kesejahteraan sosial akan menimbulkan terlalu banyak beban pada anggaran nasional dan akan memperburuk utang publik.

 

Ketika pasar gagal memberikan kesejahteraan, pemerintah mengandalkan jaring pengaman tradisional – seperti keluarga dan kekerabatan, masyarakat desa, kuil Buddha, kelompok agama, dan amal, serta hubungan patron-klien.

 

Pada tahun 1954, Parlemen menyetujui Undang-Undang Asuransi Sosial tetapi perundangan ini diserang dari berbagai pihak dan tidak pernah diimplementasikan. Antara tahun 1981 dan 1988, ada beberapa upaya lagi untuk merancang RUU jaminan sosial, tetapi tidak cukup kuat untuk dibawa ke Parlemen.  Hanya pada tahun 1990, akhirnya dihasilkan Undang-Undang Asuransi Sosial ini.

 

Pada tahun 1997, krisis keuangan melemahkan ekonomi serta kesejahteraan sosial masyarakat dimana banyak tiba-tiba banyak orang di kelas menengah kehilangan pekerjaan dan menjadi miskin.

 

Tunjangan pengangguran yang seharusnya disediakan sesuai dengan Undang-Undang Asuransi Sosial tidak dapat disalurkan dan pemerintah mengurangi lebih dari separo anggaran kesejahteraan dan pelayanan sosial sesuai perintah Dana Moneter Internasional (IMF)

 

Pada tahun 1998 pemerintah dikuasai oleh Thai Rak Thai (TRT) yang memenangi pemilu di tahun 2001. Pemerintah memperkenalkan berbagai inovasi dalam kebijakan yang membantu mengurangi kemiskinan hingga setengahnya dalam masa hanya empat tahun. Misalnya program pelayanan kesehatan yang universal, dana desa yang dikelola kredit mikro pembangunan, pinjaman pertanian  berbunga rendah, suntikan langsung uang tunai ke dalam dana pembangunan desa (skema SML), dan One Tambon One Product (OTOP).

 

Ekonomi Kecukupan (economic sufficiency) adalah filsafat pembangunan yang diciptakan oleh Raja Bhumibol selama Perang Dingin dan pemberontakan komunis di Thailand. Filsafat ini mencatat menipisnya tali persatuan yagn diakibatkan oleh kapitalisme yang merusak kesatuan bangsa. Lebih jauh dinyatakan bahwa pembangunan pedesaan harus dilakukan dengan kebijaksanaan tingkat tinggi, kecerdasan ditambah dengan kejujuran tanpa semata mata memikirkan keuntungan finansial.  Rencana pembangunan dilaksanakan melalui proyek-proyek bersama-sama dirancang dan dilaksanakan oleh tokoh masyarakat, pemerintah daerah, pemerintah provinsi, dan pemerintah pusat.

 

Thailand semakin mengakui pentingnya kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat melalui pelayanan yang disediakan oleh pemerintah dengan dilengkapi oleh pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), sektor usaha, relawan, dan partisipasi masyarakat melalui tiga jaminan sosial yaitu :  Sistem pelayanan kesejahteraan sebagai hak warga Negara yang jelas disebutkan dalam Konstitusi Kerajaan Thailand (2007); sistem Jaminan Sosial yang menyediakan asuransi sosial penuh termasuk untuk pekerja informal; dan bantuan sosial, yang menyediakan serangkaian layanan kepada banyak kelompok orang. Praktek pekerjaan sosial dalam sistem ini dipandang sebagai upaya dalam peningkatan kesejahteraan.  

 

Sejumlah besar pekerja sosial tidak memiliki gelar dalam pekerjaan sosial dan belum ada peraturan yang mensyaratkan bahwa pekerja sosial harus menyelesaikan gelar dari sebuah sekolah pekerjaan sosial.

 

Pada dekade terakhir, praktik pekerjaan sosial di Thailand telah mendapatkan dukungan besar dari hukum-hukum sosial terkait termasuk: Undang-Undang tentang Perubahan Prosedur Pidana tahun 1999 menyebutkan dengan jelas amanat pekerja sosial dalam penanganan mereka yang berusia di bawah 18 tahun; Undang Undang Kesejahteraan Sosial Act (2003) dan pembangunan Kesejahteraan Sosial (Amandemen, 2007) mendorong setiap sektor untuk berpartisipasi dalam pelayanan kesejahteraan sosial; Undang Undang Perlindungan Anak tahun 2003, Orang Lansia 2003, Undang-Undang perlindungan Korban Kekerasan Dalam Rumah 2007, Undang Undang Kesehatan Mental 2008, dan Undang Undnag Anti-Perdagangan Manusia 2008.

 

Meskipun, profesi pekerjaan sosial didirikan pada tahun 1942, lisensi profesional masih belum menjadi kenyataan. Pada tahun 2010, Kabinet menyetujui RUU tentang Lisensi Pekerjaan Sosial dan saat ini sedang dipelajari oleh Kantor Legislatif dan Dewan Yudisial sebelum dibahas di perlemen.

 

Proses lisensi masih panjang dan berliku. Ada yang berpendapat bahwa hambatan utamanya adalah nilai budaya patron-klien yang unik yang melekat dalam praktik Buddhis. Pemberian sedekah dan bantuan untuk orang miskin dipandang sebagai kewajiban bagi umat Buddha. Jadi, ada semacam jaring pengaman sosial bagi anggota masyarakat dan pekerjaan sosial profesional dianggap tidak signifikan dalam struktur ini. Di Thailand istilah ‘pekerjaan sosial’ dan ‘bantuan sosial’ sangat jumbuh. Diantara para elit, pelayanan sosial, bantuan sosial, atau kegiatan bantuan yang diberikan oleh politisi sering menghasilkan penghargaan dari Raja. Maka mereka sangat bersemangat menunjukkan niat baik mereka dengan berbagi kekayaan; mereka disebut ‘pekerja sosial’ . Sementara itu, aktivis sosial dan pekerja pembangunan proaktif yang sebagian besar bekerja di LSM menolak untuk menyebut diri mereka ‘pekerja sosial’ dan memilih untuk menjadi pekerja pengembangan masyarakat dan menuntut utuk dipisahkan dari domain pekerjaan sosial. Beberapa dari mereka bahkan menunjukkan sikap negatif terhadap ‘pekerjaan sosial’ ketika berbicara di depan umum.

 

Meskipun lisensi pekerjaan sosial masih belum menjadi kenyataan, profesi pekerjaan sosial telah diakui oleh pemerintah. Lembaga Administrasi Negara (CSC), yang memiliki mandat untuk mengidentifikasi dan memvalidasi semua profesi untuk bekerja sebagai pegawai negeri, telah mengakui profesi ‘pekerja sosial’ berikut persyaratan kualifikasi dan deskripsi pekerjaan yang jelas.

 

Asosiasi Pekerja Sosial Thailand (SWAT), didirikan pada tahun 1958. Pada tahun 2009, ia memiliki lebih dari 1,000 anggota yang sekitar 10 persen adalah pemegang gelar pekerjaan sosial.

 

Karena kelangkaan lulusan dari bidang pekerjaan sosial, orang-orang dengan latar belakang sosiologi dan psikologi diterima sebagai pekerja sosial. Lulusan ilmu pembangunan sosial dimasukkan sebagai kategori bidang ini tetapi pemegang gelar pekerja sosial lebih sering dipromosikan untuk mejadi administrator dan dengan demikian, sayangnya, berhenti bekerja sebagai pekerja sosial.

 

CAMBODIA

“Pekerjaan Sosial” dapat diterjemahkan secara harfiah ke dalam Khmer, namun tidak memiliki arti yang sama dengan definisi internasional. Hanya selusin telah pergi ke luar negeri untuk gelar sarjana mereka dalam Pekerjaan Sosial. Sampai saat ini tidak ada program gelar. Tidak ada nasional Kamboja memiliki gelar PhD dalam Pekerjaan Sosial (di DSW)

Pengembangan Pendidikan Pekerjaan Sosial di Kamboja melibatkan pengembangan kapasitas dan pemberian gelar Pekerjaan Sosial. Program Pendidikan Pekerjaan Sosial pertama didirikan pada tahun 2008 dan saat ini ada empat Program Pendidikan pekerjaan sosial.

Kamboja tidak memiliki peraturan tentang kompetensi lulusan dari Program pendidikan pekerjaan sosial dan tidak ada pengakuan teatng standar minimum pengetahuan dan keterampilan untuk menyandang gelar “pekerja sosial profesional”.

Mempertimbangkan diperlukannya untuk menyatukan profesi pekerjaan sosial dan pekerja di sebuah asosiasi profesional yang independen dan otonom, maka Asosiasi Pekerja Sosial Profesional Kamboja (APSWC) didirikan akhir 2014. Setelah berkonsultasi secara meluas dengan para pekerja sosial APSWC secara resmi terdaftar di Departemen dalam Negeri pada tahun 2015. Asosiasi ini akan terdiri dari pekerja profesional sosial, siswa, dan juga sebagai individu tanpa gelar pekerjaan sosial tetapi yang telah bekerja di lapangan kesejahteraan sosial.

APSWC berusaha untuk memajukan pekerjaan sosial sebagai profesi dan untuk mendorong praktik pekerjaan sosial dengan standar yang tinggi dengan memperkuat kompetensi anggotanya melalui penyediaan kesempatan pendidikan, berbagi pengalaman profesional, dan kesempatan pengembangan profesional di tingkat nasional, regional, dan internasional; membangun dan mempromosikan jaringan profesional Pekerja Sosial untuk menciptakan rasa solidaritas dan komitmen untuk keunggulan dalam praktek profesi; dan mengambil tindakan yang efektif untuk mencapai undang-undang untuk memajukan kesejahteraan sosial umum dan posisi pekerjaan sosial dalam masyarakat; serta mempromosikan penelitian pekerjaan sosial difokuskan pada konteks local.

Asosiasi bekerja dengan instansi pemerintah terkait dalam menawarkan pengakuan bagi mereka yang memperlihatkan kualifikasi minimum dengan menyelesaikan gelar pendidikan pekerjaan sosial dan ujian lisensi yang dikelola oleh APSWC; dan mempertahankan Kode Pekerjaan Sosial Etik Profesional, yang harus benar-benar diamati sebagai syarat keanggotaan.

Sementara ini belum ada pengakuan atas praktik pekerjaan sosial di berbagai sektor seperti kesehatan, kesehatan mental, sekolah dan pendidikan, peradilan, hak asasi manusia, tingkat kebijakan makro, Asosiasi ini akan melakukan advokasi untuk menciptakan posisi pagawai pemerintah di berbagai kementerian, sektor, dan lembaga.

 

Suatu catatan kolektif Tim Advokasi RUU Pekerjaan Sosial,

Konsorsium Pekerjaan Sosial Indonesia

*Tahun 2012*

Februari:  diskusi Pilar-pilar Pekerjaan Sosial Tentang Pentingnya UU Praktik Pekerjaan Sosial

IPSPI, IPPSI, DNIKS, KPSI, Forkomkasi, IPENSI, Praktisi Pekerjaan Sosial, dan Pejabat Struktural Kementerian Sosial.

Dibentuk Tim Kerja untuk melakukan kajian tentang “Kebutuhan Undang-Undang Praktik Pekerja Sosial”

Juni: Seminar Nasional: Permasalahan, Kebutuhan dan Tantangan Pekerja Sosial Dalam Melaksanakan Praktik Pekerjaan Sosial di Indonesia.

Affirmasi tentang diperlukannya UU Peksos

Nara Sumber   :  

2 (dua) orang anggota Komisi VIII DPR RI

1 (satu) orang dari Badan Legislasi  DPR RI

2 (dua) orang Praktisi Pekerjaan Sosial

 

*Tahun 2013*

Januari – Maret: sosialisasi dan penyampaian Hasil Kajian Tim Pengkaji kepada Anggota Komisi VIII DPR RI, dan Kemensos

Juni : “Konferensi Nasional Pekerjaan Sosial’ tentang: “Urgensi UU Praktik Pekerjaan Sosial” (lebih dari 200 peserta praktisi, akademisi, dan penyandang masalah kesehateraan sosial).

Juli: Rapat Dengar Pendapat Kemensos dan Komisi VIII DPR RI (menyepakati usulan RUU Praktik Pekerjaan Sosial/Pekerja Sosial sebagai Hak Inisiatif DPR RI)

Oktober: International Conference on Social Work (ICSW) di Bandung (pembelajaran advokasi legislasi Peksos dari beberapa Negara ).

*Tahun 2014*

Januari : Rapat Dengar Pendapat Komisi VIII DPR RI ttg urgensi UU Peksos     (Ka-Badiklit kemensos, STKS Bandung, PSBR Bambu Apus)

Februari – Oktober: Panitia Kerja Komisi VIII DPR RI

Rapat dengar pendapat dengan berbagai lembaga seperti; BAPAS MENKUMHAM, BNN, BNPB, dll.

Kunjungan kerja ke beberapa provinsi di Indonesia.

Nopember : Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VIII DPR RI              (Konsorsium Pekerjaan Sosial Indonesia (KPSI), pilar pekerjaan sosial, dan Komunitas Pekerjaan Sosial di Indonesia tentang Urgensi UU Pekerjaan Sosial)

*Tahun 2015*

Januari: FGD Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Fraksi PKS dan Gerindra (Urgensi  UU Praktik Peksos untuk masuk Prolegnas 2015 – 2019).

Pebruari: Audiensi dengan Fraksi Demokrat (Fraksi akan mendorong RUU Praktik Peksos masuk Prolegnas 2015 – 2019).

April: Komisi VIII DPR RI mengusulkan RUU Praktik Peksos ke Badan Legislasi DPR RI untuk Prolegnas 2015 – 2019.

Agustus: RUU Praktik Peksos masuk Prolegnas 2015 – 2019 melalui Hak Inisiatif DPR RI.

Oktober: Komisi VIII DPR RI kembali mengusulkan RUU Praktik Peksos untuk Prolegnas 2016 ke Baleg DPR RI

Nopember: Audiensi Fraksi PDIP (Fraksi PDIP akan mendorong agar RUU Praktik Peksos masuk Prolegnas 2016

Desember: RUU Praktik Peksos resmi masuk Prolegnas 2016 melalui Hak Inisiatif DPR RI.

*Tahun 2016*

RUU Peksos tereliminasi oleh RUU Disabilitas dari Prolegnas 2016

Mei: audiensi Ketua Komisi VIII DPR RI tentang peluang RUU Praktik Peksos masuk Prolegnas 2017

Juni KPSI menindaklanjuti RUU Praktik Peksos dengan menyiapkan Naskah Akademik untuk Komisi VIII DPR RI.

Nopember: penyampaian aspirasi STKS ke Komisi VIII DPR RI  (ditandatangani oleh 312 orang) advokasi RUU Praktik Peksos untuk masuk Prolegnas 2017

*Tahun 2017*

Januari: Komisi VIII mengusulkan RUU Praktik Peksos masuk Prolegnas 2017

Mulai Februari: Komisi VIII DPR RI melimpahkan RUU Praktik Peksos ke Badan Keahlian DPR RI (mempersiapkan persyaratan untuk sidang paripurna 2017 melalui:

diskusi dengan berbagai pilar profesi Peksos

uji petik ke beberapa wilayah

menyiapkan naskah akademik dan draft RUU

Nopember : RUU Praktik Peksos masuk Prolegnas 2018

*Tahun 2018*

Januari: Badan Keahlian DPR RI mempresentasikan Naskah Akademik dan draft RUU Praktik Peksos ke Anggota DPR RI

Januari : dibentuk Panja 24 orang  (melaksanakan uji publik di Padang, Surabaya, dan Papua)

Februari  dan Maret: KPSI mengadakan diskusi membahasan  RUU Praktik Peksos

April: Rapat dengar Pendapat Komisi VIII dengan KPSI dan ormas seperti Yayasan Sayap Ibu, Komnas Perempuan,  dan Panti – panti Sosial di DKI.

April: Rapat dengar Pendapat Komisi VIII dengan STKS dan KPPPA.

September:  lokakarya “Pekerja Sosial dan kesukarelawanan

September: harmonisasi RUU Praktik Peksos oleh Baleg

September: Bada Legislatif  menerima dan merubah menjadi  RUU Pekerja Sosial untuk dilanjutkan ke rapat paripurna sebagai inisiatif DPR

Oktober: Rapat paripurna DPR menyetujui RUU Pekerja Sosial

 

 

*Stok Opname Januari 2019*

Oktober 2018: DPR Mengirimkan RUU Peksos ke Presiden (waktu pembahasan : 60 hari)

November: Serie Pembahasan dari sisi Pemerintah (Pengampu: Kemensos, Kemendagri, Kemenaker, Kemenristekdikti, Kemenkumham)

Desember: Pemerintah mengirimkan Daftar isian Masalah (DIM) ke DPR

2019: Pembahasan di DPR RI akan dilaksanakan setelah masa Reses pada Kuartal pertama

Teks ini Adalah Catatan Pribadi Penulis

Versi resmi berada pada Sekretariat DPR RI atau Pemerintah RI

 

Revisi hasil pembahasan pihak Pemerintah

terhadap draft RUU dari DPR RI

Desember 2018

 

RANCANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR… TAHUN…

TENTANG

PEKERJA SOSIAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:

  1. bahwa negara bertanggung jawab untuk melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang salah satunya dilakukan melalui penyelenggaraan kesejahteraan sosial;
  2. bahwa penyelenggaraan kesejahteraan sosial saat ini belum  optimal dan terjadi perubahan sosial di dalam masyarakat yang berdampak pada peningkatan jumlah dan kompleksitas permasalahan kesejahteraan sosial;  
  3. bahwa permasalahan kesejahteraan sosial perlu ditangani melalui  praktik pekerjaan sosial yang profesional, terencana, terpadu, berkualitas, dan berkesinambungan untuk memperbaiki dan meningkatkan keberfungsian sosial;
  4. bahwa pengaturan pekerja sosial masih bersifat parsial dan belum sepenuhnya diatur dalam suatu undang-undang;
  5. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Pekerja Sosial;

Mengingat:

Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

 

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:

UNDANG-UNDANG TENTANG PEKERJA SOSIAL.

 

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang–Undang ini yang dimaksud dengan:

  1. Pekerja Sosial adalah seseorang yang memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai pekerjaan sosial yang dimiliki oleh lulusan pendidikan vokasi pekerjaan sosial dan pendidikan profesi pekerja sosial serta telah lulus uji kompetensi.
  2. Praktik Pekerjaan Sosial adalah penyelenggaraan pertolongan profesional yang terencana, terpadu, berkesinambungan, dan tersupervisi untuk mencegah disfungsi sosial, serta memulihkan dan meningkatkan keberfungsian sosial individu, keluarga, kelompok, komunitas, organisasi, dan masyarakat.
  3. Keberfungsian Sosial adalah suatu kondisi yang memungkinkan individu, keluarga, kelompok, komunitas, organisasi, dan masyarakat mampu memenuhi kebutuhan dan hak dasarnya, melaksanakan tugas dan peranan sosialnya, serta mengatasi masalah dalam kehidupannya.
  4. Pencegahan Disfungsi Sosial adalah upaya untuk mencegah keterbatasan individu, keluarga, kelompok, komunitas, organisasi, dan masyarakat dalam menjalankan keberfungsian sosialnya.
  5. Rehabilitasi Sosial adalah proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan seseorang mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat.
  6. Pemberdayaan Sosial adalah semua upaya yang diarahkan untuk menjadikan warga negara yang mengalami masalah sosial mempunyai daya, sehingga mampu memenuhi kebutuhan dasarnya.
  7. Pengembangan Sosial adalah upaya untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan atau daya guna individu, keluarga, kelompok, komunitas, organisasi, dan masyarakat yang sudah berfungsi dengan baik.
  8. Pelindungan Sosial adalah upaya yang diarahkan untuk mencegah dan menangani risiko dari guncangan dan kerentanan sosial.
  9. Klien adalah penerima manfaat pelayanan Praktik Pekerjaan Sosial yang meliputi individu, keluarga, kelompok, komunitas, organisasi, dan masyarakat.
  10. Sertifikat Kompetensi adalah dokumen yang memuat pengakuan kompetensi atas prestasi lulusan yang sesuai dengan keahlian dalam cabang ilmunya dan/atau memiliki prestasi diluar program studinya.
  11. Uji kompetensi adalah proses penilaian kompetensi Pekerja Sosial yang secara terukur dan objektif menilai capaian kompetensi dalam bidang pekerjaan sosial dengan mengacu pada Standar Kompetensi Pekerja Sosial.
  12. Registrasi adalah pencatatan resmi terhadap Pekerja Sosial yang telah memiliki Sertifikat Kompetensi dan telah mempunyai kualifikasi tertentu serta mempunyai pengakuan secara hukum untuk menjalankan Praktik Pekerjaan Sosial.
  13. Surat Tanda Registrasi yang selanjutnya disingkat STR adalah bukti tertulis yang diberikan oleh organisasi pekerja sosial kepada Pekerja Sosial yang telah diregistrasi.
  14. Registrasi Ulang adalah pencatatan ulang terhadap Pekerja Sosial yang telah diregistrasi setelah memenuhi persyaratan yang berlaku.
  15. Surat Izin Praktik Pekerja Sosial yang selanjutnya disingkat SIPPS adalah bukti tertulis yang diberikan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota kepada Pekerja Sosial sebagai pemberian kewenangan untuk menjalankan Praktik Pekerjaan Sosial.
  16. Organisasi Pekerja Sosial adalah wadah berhimpun Pekerja Sosial yang bersifat independen dan mandiri.
  17. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  18. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
  19. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.

Pasal 2

Pekerja Sosial melaksanakan praktik Pekerjaan Sosial dengan berasaskan:

  1. nondiskriminasi;
  2. kesetiakawanan;
  3. keadilan;
  4. profesionalitas;
  5. kemanfaatan;
  6. keterpaduan;
  7. kemitraan;
  8. aksesibilitas; dan
  9. akuntabilitas.

 

Pasal 3

Praktik Pekerjaan Sosial yang dilaksanakan oleh Pekerja Sosial bertujuan:

memulihkan dan meningkatkan keberfungsian sosial individu, keluarga, kelompok, komunitas, organisasi, dan masyarakat;

  1. meningkatkan ketahanan sosial masyarakat dalam menghadapi masalah kesejahteraan sosial;
  2. meningkatkan kualitas manajemen penyelenggaraan kesejahteraan sosial dalam rangka mencapai kemandirian individu, keluarga, kelompok, komunitas, organisasi, dan masyarakat; dan
  3. meningkatkan kemampuan dan kepedulian masyarakat dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara melembaga dan berkelanjutan.

BAB II

PRAKTIK PEKERJAAN SOSIAL

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 4

Praktik Pekerjaan Sosial meliputi:

  1. Pencegahan Disfungsi Sosial;
  2. Rehabilitasi Sosial;
  3. Pemberdayaan Sosial;
  4. Pengembangan Sosial; dan
  5. Pelindungan Sosial.

Pasal 5

Praktik Pekerjaan Sosial harus dilengkapi dengan sarana dan prasarana pelayanan sebagai investasi sosial, sesuai dengan standar pelayanan dan standar prosedur operasional.

Bagian Kedua

Pencegahan Disfungsi Sosial

Pasal 6

Pencegahan Disfungsi Sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a ditujukan untuk mencegah terjadinya disfungsi sosial individu, keluarga, kelompok, komunitas, dan/atau masyarakat.

Pencegahan Disfungsi Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dalam bentuk:

  1. penyuluhan sosial;
  2. bimbingan sosial;
  3. pendampingan sosial;
  4. peningkatan kapasitas;
  5. pelatihan keterampilan;
  6. pelayanan aksesibilitas; dan/atau
  7. advokasi sosial.

Bagian Ketiga

Rehabilitasi Sosial

Pasal 7

  1. Rehabilitasi Sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b ditujukan untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan individu, keluarga, kelompok, komunitas, organisasi, dan/atau  masyarakat yang mengalami disfungsi sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar.
  2. Rehabilitasi Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan secara persuasif, motivatif, dan koersif.
  3. Rehabilitasi Sosial terdiri atas:
  1. Rehabilitasi Sosial dasar; dan
  2. Rehabilitasi Sosial lanjut.
  1. Rehabilitasi Sosial dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a merupakan upaya yang dilakukan untuk memulihkan keberfungsian sosial individu, keluarga, kelompok, komunitas, organisasi, dan masyarakat.
  2. Rehabilitasi Sosial lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b merupakan upaya yang dilakukan untuk mengembangkan keberfungsian sosial individu, keluarga, kelompok, komunitas, organisasi, dan masyarakat.
  3. Rehabilitasi Sosial lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dalam bentuk:
  1. motivasi dan diagnosis psikososial;
  2. perawatan dan pengasuhan;  
  3. pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan;  
  4. pelayanan aksesibilitas;
  5. bantuan dan asistensi sosial;
  6. bimbingan resosialisasi;
  7. bimbingan lanjut; dan/atau rujukan.

 

  1. Selain bentuk sebagaimana dimaksud pada ayat (7) Rehabilitasi Sosial lanjut juga dilakukan dalam bentuk:
  1. terapi fisik;
  2. terapi mental spiritual;
  3. terapi psikososial;
  4. terapi untuk penghidupan;
  5. pemenuhan hidup layak;
  6. dukungan aksesibilitas; dan/atau
  7. bentuk lainnya yang mendukung keberfungsian sosial.

 

  1. Bentuk Rehabilitasi Sosial lanjut sebagaimana dimaksud ayat (8) huruf a, huruf b, dan huruf d dapat dilakukan secara bersama dengan profesi lain.

 

Bagian Keempat

Pemberdayaan Sosial

Pasal 8

(1) Pemberdayaan Sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c ditujukan untuk:

  1. memberdayakan individu, keluarga, kelompok, komunitas, organisasi, dan/atau masyarakat yang mengalami masalah sosial agar mampu meningkatkan kualitas kehidupannya secara mandiri; dan
  2. meningkatkan peran serta lembaga dan/atau perseorangan sebagai potensi dan sumber daya dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial.

(2) Pemberdayaan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk:

  1. identifikasi permasalahan dan sumber daya yang dapat dikembangkan;
  2. menumbuhkan kesadaran dan pemberian motivasi;
  3. pelatihan keterampilan;
  4. penguatan kelembagaan dalam masyarakat;
  5. pendampingan;
  6. kemitraan dan penggalangan dana;
  7. membukakan akses terhadap stimulan modal, peralatan usaha, dan tempat usaha;
  8. peningkatan akses pemasaran hasil usaha;
  9. supervisi dan advokasi sosial;
  10. penguatan keserasian sosial; dan/atau
  11. bimbingan lanjut.

Bagian Kelima

Pengembangan Sosial

Pasal 9

  1. Pengembangan sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup dan keberfungsian sosial individu, kelompok, komunitas, organisasi, dan/atau masyarakat melalui partisipasi aktif dan atas prakarsa perseorangan, kelompok, dan masyarakat bersama pekerja sosial.

 

  1. Pengembangan sosial dilakukan dalam bentuk;
    1. pemetaan sosial;
    2. supervisi dan advokasi sosial;
    3. pendidikan psikoedukasi;
    4. kampanye sosial;
    5. pengembangan kemitraan;
    6. peningkatan aksesibilitas;
    7. penguatan integrasi sosial; dan/atau
    8. pengembangan inovasi pekerjaan sosial.

 

Bagian Keenam

Pelindungan Sosial

Pasal 10

(1) Pelindungan sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf e ditujukan untuk mencegah dan mengurangi risiko dari kerentanan sosial individu, keluarga, kelompok, komunitas, organisasi dan/atau masyarakat agar kelangsungan hidupnya dapat dipenuhi sesuai dengan kebutuhan dasar minimal.

(2) Pelindungan sosial dapat dilaksanakan melalui:

  1. bantuan sosial;
  2. advokasi sosial; dan/atau
  3. pemberian akses bantuan hukum.

BAB III

STANDAR PRAKTIK PEKERJAAN SOSIAL

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 11

(1) Praktik Pekerjaan Sosial dilaksanakan berdasarkan standar Praktik Pekerjaan Sosial untuk memulihkan dan meningkatkan Keberfungsian Sosial Klien.

(2) Standar Praktik Pekerjaan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

  1. standar prosedur operasional;
  2. standar kompetensi; dan
  3. standar layanan.

Bagian Kedua

Standar Prosedur Operasional

Pasal 12

(1) Standar prosedur operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a meliputi:

  1. pendekatan awal;
  2. asesmen;
  3. perencanaan;
  4. intervensi; dan
  5. evaluasi, rujukan, dan terminasi.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar prosedur operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

 

Bagian Ketiga

Standar Kompetensi

Pasal 13

  1. Standar kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b didasarkan pada pengetahuan, keterampilan, dan nilai dalam Praktik Pekerjaan Sosial
  2. Standar kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Bagian Keempat

Standar Layanan

Pasal 14

  1. Standar layanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf c dilandaskan pada fungsi layanan sosial
  2. Fungsi layanan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
    1. pencegahan disfungsi sosial;
    2. pelindungan sosial
    3. rehabilitasi sosial;
    4. pemberdayaan sosial; dan
    5. pengembangan sosial.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Standar layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB IV

PROFESI PEKERJA SOSIAL

 

Bagian Kesatu

Syarat Menjadi Pekerja Sosial

Pasal…

Untuk menjadi Pekerja Sosial dipersyaratkan harus memenuhi ketentuan:

    1. sarjana kesejahteraan sosial atau sarjana terapan pekerjaan sosial;
    2. lulus pendidikan profesi Pekerja Sosial bagi sarjana kesejahteraan sosial; dan
    3. memiliki sertifikat kompetensi atau sertifikat profesi.

 

Bagian Kedua

Pendidikan Profesi Pekerja Sosial

Pasal….

Pendidikan profesi Pekerja Sosial merupakan pendidikan setelah sarjana yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang bekerja sama dengan Kementerian, Lembaga Pemerintah NonKementerian, dan/atau organisasi profesi yang bertanggung jawab atas mutu layanan profesi.

Bagian Ketiga

Uji Kompetensi Pekerja Sosial

Pasal 15

(1) Untuk menyelesaikan program pendidikan profesi Pekerja Sosial mahasiswa harus lulus uji kompetensi yang bersifat nasional sebelum mengangkat sumpah/janji sebagai Pekerja Sosial.

(2) Syarat untuk dapat mengikuti pendidikan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berlatar belakang sarjana kesejahteraan sosial atau sarjana terapan pekerjaan sosial dari perguruan tinggi dalam negeri atau perguruan tinggi luar negeri yang ijazahnya telah disetarakan.

Pasal 16

(1) Uji kompetensi dilakukan diakhir pendidikan vokasi dan pendidikan profesi.

(2) Uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh perguruan tinggi bekerja sama dengan Organisasi Profesi, lembaga pelatihan, atau lembaga sertifikasi yang terakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 17

Peserta yang lulus Uji Kompetensi berhak mendapatkan Sertifikat Kompetensi bagi lulusan pendidikan vokasi dan sertifikat profesi bagi lulusan pendidikan profesi.

 

Pasal 18

Ketentuan lebih lanjut mengenai Uji Kompetensi diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB V

REGISTRASI DAN IZIN PRAKTIK

Bagian Kesatu

Registrasi

 

Pasal 19

(1) Setiap Pekerja Sosial yang melaksanakan Praktik Pekerjaan Sosial wajib memiliki STR.

(2) STR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Organisasi Pekerja Sosial.

Pasal 20

Untuk memperoleh STR Pekerja Sosial harus memenuhi persyaratan:

  1. memiliki Sertifikat Kompetensi;
  2. memiliki surat keterangan sehat jasmani dan rohani;
  3. memiliki surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji Pekerja Sosial;dan
  4. membuat pernyataan mematuhi dan melaksanakan ketentuan kode etik Pekerja Sosial.

Pasal 21

  1. STR berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diregistrasi ulang setelah memenuhi persyaratan.
  2. Persyaratan untuk Registrasi Ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  1. memiliki STR lama;
  2. memiliki Sertifikat Kompetensi;
  3. memiliki surat keterangan sehat jasmani dan rohani;
  4. membuat pernyataan mematuhi dan melaksanakan ketentuan kode etik Pekerja Sosial; dan
  5. telah mengabdikan diri sebagai Pekerja Sosial.

 

Pasal 22

STR tidak berlaku karena:

  1. habis masa berlakunya dan Pekerja Sosial tidak mendaftar ulang;
  2. atas permintaan sendiri;
  3. Pekerja Sosial meninggal dunia; atau
  4. dicabut atas dasar ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 23

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara registrasi dan registrasi ulang diatur dalam Peraturan Menteri.

Bagian Kedua

Registrasi Pekerja Sosial Lulusan Luar Negeri

Pasal 24

(1) Pekerja Sosial lulusan luar negeri yang akan melaksanakan Praktik Pekerjaan Sosial di Indonesia harus dilakukan evaluasi dan/atau verifikasi oleh Organisasi Pekerja Sosial.

(2) Evaluasi dan/atau verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

  1. bukti penyetaraan ijazah oleh Kementerian yang menyelenggarakan urusan pendidikan tinggi;
  2. kemampuan untuk melakukan Praktik Pekerjaan Sosial yang dinyatakan dengan surat keterangan telah mengikuti program adaptasi dan Sertifikat Kompetensi;
  3. memiliki surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji Pekerja Sosial;
  4. memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental; dan
  5. membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan kode etik Pekerja Sosial

 

  1. Pekerja Sosial lulusan luar negeri yang telah dievaluasi dan/atau diverifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang hasilnya dinyatakan sesuai dengan  ketentuan diberikan STR.

Bagian Ketiga

Registrasi Pekerja Sosial Warga Negara Asing

Pasal 25

(1) Pekerja Sosial warga negara asing dapat melakukan praktik pekerjaan sosial di Indonesia

 

(2) Pekerja Sosial warga negara asing yang melakukan praktik Pekerjaan Sosial di Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki surat izin kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Pekerja sosial warga negara asing yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan STR sementara oleh Organisasi Pekerja Sosial.

Pasal 26

(1) STR sementara dapat diberikan kepada Pekerja Sosial warga negara asing yang melakukan kegiatan dalam rangka pendidikan, pelatihan, penelitian, pelayanan di bidang kesejahteraan sosial yang bersifat sementara di Indonesia.

(2) STR sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama 1 (satu) tahun dan hanya dapat diperpanjang untuk 1 (satu) tahun berikutnya.

 

Pasal 27

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh STR sementara diatur dalam Anggaran Dasar Organisasi Profesi Pekerja Sosial.

Bagian Keempat

Izin Praktik

Pasal 28

(1) Pekerja Sosial yang menjalankan Praktik Pekerjaan Sosial wajib memiliki izin.

(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk SIPPS.

(3) SIPPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota tempat Pekerja Sosial menjalankan praktiknya.

(4) Untuk mendapatkan SIPPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2), Pekerja Sosial harus melampirkan:

  1. salinan STR yang masih berlaku; dan
  2. surat pernyataan memiliki tempat praktik atau surat keterangan dari pimpinan tempat Pekerja Sosial berpraktik.

(5) SIPPS masih berlaku apabila:

  1. STR masih berlaku; dan
  2. Pekerja Sosial berpraktik di tempat sebagaimana tercantum dalam SIPPS.

Pasal 29

(1) SIPPS hanya berlaku untuk 1 (satu) tempat praktik.

(2) Pekerja Sosial dapat berpraktik paling banyak di 2 (dua) tempat praktik.

 

Pasal 30

SIPPS tidak berlaku apabila:

  1. dicabut berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan;
  2. habis masa berlakunya;
  3. atas permintaan Pekerja Sosial; atau
  4. Pekerja Sosial meninggal dunia.

Pasal 31

Ketentuan lebih lanjut mengenai izin praktik diatur dalam Peraturan Menteri.

BAB VI

HAK DAN KEWAJIBAN

Bagian Kesatu

Hak dan Kewajiban Pekerja Sosial

Pasal 32

Pekerja Sosial dalam melaksanakan pelayanan Praktik Pekerjaan Sosial berhak:

  1. memperoleh pelindungan hukum dalam pelaksanaan tugas sesuai dengan standar Praktik Pekerjaan Sosial;
  2. memperoleh informasi yang benar, jelas, dan jujur dari Klien, keluarga, dan/atau pihak lain yang terkait;
  3. meningkatkan kompetensi melalui pendidikan, pelatihan dan pengembangan profesi;
  4. mendapatkan promosi dan/atau penghargaan sesuai dengan prestasi kerja;
  5. memiliki kebebasan untuk berserikat dalam Organisasi Pekerja Sosial; dan/atau
  6. menerima imbalan jasa atas pelayanan yang telah dilakukan.

Pasal 33

Pekerja Sosial dalam melaksanakan pelayanan Praktik Pekerjaan Sosial wajib:

  1. memberikan pelayanan sesuai dengan standar Praktik Pekerjaan Sosial;
  2. memberikan informasi yang lengkap dan benar mengenai pelayanan kepada Klien, keluarga, dan/atau pihak lain sesuai dengan kewenangannya;
  3. menjaga kerahasiaan Klien;
  4. merujuk Klien kepada pihak lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan sesuai dengan penanganan masalah;
  5. meningkatkan mutu pelayanan pekerjaan sosial;
  6. meningkatkan dan mengembangkan kompetensi serta pengetahuan secara berkelanjutan dan/atau keterampilan melalui pendidikan dan/atau pelatihan; dan
  7. bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi kepada Klien dalam menjalankan tugas keprofesionalan.

 

Bagian Kedua

Hak dan Kewajiban Klien

Pasal 34

Klien dalam menerima pelayanan Pekerja Sosial berhak:

  1. memperoleh pelayanan sesuai dengan standar Praktik Pekerjaan Sosial;
  2. memperoleh informasi secara benar dan jelas mengenai rencana intervensi Praktik Pekerjaan Sosial;
  3. memberi persetujuan atau penolakan terhadap rencana intervensi yang akan dilakukan;
  4. memperoleh jaminan kerahasiaan identitas dan kondisi Klien;

 

Pasal 35

Kerahasiaan identitas dan kondisi Klien sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf d dapat diungkapkan atas dasar:

  1. kepentingan Klien;
  2. permintaan aparatur penegak hukum;
  3. persetujuan Klien; dan/atau
  4. perintah undang-undang.

Pasal 36

(1) Klien dalam menerima pelayanan Praktik Pekerjaan Sosial wajib:

  1. memberikan informasi yang lengkap, jelas, dan jujur mengenai kondisinya;
  2. mematuhi nasihat dan petunjuk Pekerja Sosial; dan
  3. memberikan imbalan jasa atas pelayanan Praktik Pekerjaan Sosial yang diterima.

(2) Imbalan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c tidak berlaku jika Klien merupakan orang atau sekelompok orang yang tergolong miskin atau sedang dalam musibah.

 

BAB VII

ORGANISASI PEKERJA SOSIAL

Pasal 37

  1. Pekerja Sosial membentuk Organisasi Pekerja Sosial yang bersifat independen dan mandiri.
  2. Organisasi Pekerja Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi untuk meningkatkan kompetensi, karier, pelindungan, dan kesejahteraan Pekerja Sosial.
  3. Pekerja Sosial wajib menjadi anggota Organisasi Pekerja Sosial.
  4. Pembentukan Organisasi Pekerja Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  5. Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dapat memfasilitasi Organisasi Pekerja Sosial dalam pelaksanaan pembinaan dan pengembangan Pekerja Sosial.

Pasal 38

Organisasi Pekerja Sosial bertugas:

  1. menyusun kode etik Pekerja Sosial;
  2. melaksanakan Registrasi Pekerja Sosial;
  3. meningkatkan pengetahuan, kompetensi, dan martabat Pekerja Sosial; dan
  4. melakukan pelindungan dan pengawasan terhadap Pekerja Sosial yang melakukan Praktik Pekerjaan Sosial.

Pasal 39

Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Organisasi Pekerja Sosial berwenang:

  1. menetapkan dan menegakkan kode etik Pekerja Sosial;  
  2. memberikan bantuan hukum kepada Pekerja Sosial;
  3. melakukan pembinaan dan pengembangan Pekerja Sosial.
  4. menyatakan terpenuhi atau tidaknya persyaratan Registrasi Pekerja Sosial;
  5. menerbitkan, memperpanjang, membekukan, dan mencabut STR;
  6. menyatakan terjadi atau tidaknya suatu pelanggaran kode etik Pekerja Sosial berdasarkan hasil investigasi;
  7. menjatuhkan sanksi terhadap Pekerja Sosial yang tidak memenuhi standar Praktik Pekerjaan Sosial; dan
  8. menjatuhkan sanksi terhadap Pekerja Sosial yang melakukan pelanggaran kode etik Pekerja Sosial.

BAB VIII

DEWAN KEHORMATAN KODE ETIK

Pasal 40

(1) Untuk menegakkan kode etik Pekerja Sosial, Organisasi Pekerja Sosial membentuk dewan kehormatan kode etik.

(2) Dewan kehormatan kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan kode etik Pekerja Sosial dan memberikan rekomendasi pemberian sanksi atas pelanggaran kode etik Pekerja Sosial.

(3) Rekomendasi dewan kehormatan kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilaksanakan oleh Organisasi Pekerja Sosial.

(4) Rekomendasi dewan kehormatan kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus objektif, tidak diskriminatif,  dan tidak bertentangan dengan anggaran dasar Organisasi Pekerja Sosial serta peraturan perundang-undangan.

(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa:

  1. peringatan tertulis;
  2. Pembekuan sementara STR;
  3. pencabutan STR.

Pasal 41

Ketentuan mengenai keanggotaan serta mekanisme kerja dewan kehormatan kode etik diatur dalam anggaran dasar Organisasi Pekerja Sosial.

BAB IX

TUGAS DAN WEWENANG

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 42

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya Praktik Pekerjaan Sosial yang bermutu dan melindungi masyarakat penerima pelayanan Praktik Pekerjaan Sosial.

Bagian Kedua

Pemerintah Pusat

Pasal 43

(1) Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 bertugas:

  1. menyusun standar prosedur operasional, standar layanan, dan standar kompetensi;
  2. menyusun standar pendidikan profesi Pekerja Sosial;
  3. menyusun kebijakan sistem Uji Kompetensi;
  4. melakukan pembinaan terhadap penyelenggaran Praktik Pekerjaan Sosial; dan
  5. melakukan pengawasan pelaksanaan Praktik Pekerjaan Sosial.

(2) Dalam melakukan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e Pemerintah dapat bekerja sama dengan Organisasi Pekerja Sosial.

 

Pasal 44

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43, Pemerintah Pusat berwenang: menetapkan program pemberdayaan dan pengembangan Pekerja Sosial skala nasional; melakukan pengelolaan basis data pelayanan praktik pekerjaan sosial skala nasional;

  1. menetapkan kebijakan sistem registrasi Pekerja Sosial;
  2. menetapkan standar prosedur operasional, standar layanan, dan standar kompetensi;
  3. menetapkan kebijakan sistem Uji Kompetensi; dan

 

Pasal 45

Tugas Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf a, huruf b, huruf e dan huruf f dilaksanakan oleh Menteri.

(1) Tugas Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf c dan huruf d dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan tinggi.

Pasal ….

(1) Wewenang Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf a dan huruf b dilaksanakan oleh Menteri.

(2) Wewenang Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf c dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan tinggi.

Bagian Ketiga

Pemerintah Daerah

Pasal 46

Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 bertugas:

  1. melakukan pemberdayaan dan pengembangan Pekerja Sosial;
  2. melakukan pengelolaan pangkalan data pelayanan praktik pekerjaan sosial di lingkup Pemerintah Daerah
  3. melakukan pengawasan pelaksanaan Praktik Pekerjaan Sosial bersama-sama dengan Organisasi Pekerja Sosial di daerah.

Pasal 47

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, Pemerintah Daerah berwenang:

  1. menetapkan program pemberdayaan dan pengembangan Pekerja Sosial;
  2. mendapatkan data pelayanan praktik pekerjaan sosial dari pemangku kepentingan;
  3. menetapkan program fasilitasi pelayanan praktik pekerjaan sosial; dan
  4. memberikan dan mencabut izin praktik pekerjaan sosial.

BAB IX

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal ….

(1) Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelayanan praktik pekerjaan sosial sesuai dengan kewenangannya masing-masing

(2) Masyarakat dapat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelayanan praktik pekerjaan sosial.

Pasal …

Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal … dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB X

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 48

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:

  1. Pekerja Sosial yang merupakan kelompok jabatan fungsional sebelum Undang-Undang ini diundangkan tetap diakui sebagai Pekerja Sosial sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini; dan
  2. istilah pekerja sosial profesional yang digunakan dalam peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku, harus dimaknai sebagai Pekerja Sosial, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.

Pasal 49

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 12 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4967):

Pekerja sosial profesional yang telah melakukan pelayanan sosial tetapi belum mengikuti uji kompetensi, masih diberikan kewenangan melakukan pelayanan sosial untuk jangka waktu 5 (lima) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan; dan

 

Pasal….

Lulusan sarjana kesejahteraan sosial dan/atau sarjana terapan Pekerjaan Sosial yang tidak mengikuti pendidikan profesi namun telah lulus uji kompetensi sebelum Undang-Undang ini diundangkan dapat diakui menjadi Pekerja Sosial melalui penyetaraan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

Pasal…….

Lulusan sarjana kesejahteraan sosial dan/atau sarjana terapan Pekerjaan Sosial yang tidak mengikuti pendidikan profesi namun belum mengikuti uji kompetensi tetapi sudah memberikan pelayanan di bidang Pekerjaan Sosial paling singkat 2 (dua) tahun sebelum Undang-Undang ini diundangkan dapat diakui menjadi Pekerja Sosial melalui penyetaraan dengan tetap mengikuti Uji Kompetensi tanpa melalui pendidikan profesi.

Pasal 50

Organisasi pekerja sosial yang sudah ada harus menyesuaikan tugas dan wewenangnya berdasarkan Undang-Undang ini paling lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak undang-undang ini diundangkan.

Pasal 51

Institusi yang melaksanakan Uji Kompetensi Pekerja Sosial sebelum undang-undang ini diundangkan masih dapat melakukan tugas dan wewenangnya sampai dengan Uji Kompetensi diselenggarakan oleh perguruan tinggi bekerjasama dengan organisasi profesi.

Pasal 52

Terhitung 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan, pelaksanaan uji kompetensi pekerja sosial harus diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi bekerjasama dengan organisasi profesi.

BAB XI

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 53

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:

  1. ketentuan yang mengatur mengenai pekerja sosial profesional dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 12 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4967) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
  2. semua peraturan pelaksanaan yang mengatur mengenai Praktik Pekerjaan Sosial dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini atau belum dikeluarkan peraturan pelaksanaan baru berdasarkan Undang-Undang ini.

Pasal 54

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-Undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Praktik Pekerjaan Sosial, dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang ini dan belum diganti dengan peraturan pelaksanaan yang baru.

Pasal 55

Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 56

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia

 

Disahkan di Jakarta

pada tanggal ………

 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 

JOKO WIDODO

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal ………

 

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,

 

YASONNA H. LAOLY

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR …

 

The ASEAN Coordinating Centre for Humanitarian Assistance on Disaster Management (AHA Centre) in 40th edition of it’s periodical, dubbed “The Column”, pay homage to Puji Pujiono one of the region’s most respected and reknowned disaster management experts.

Dr. Puji Pujiono, MSW.

Ver. Desember 2018

Risalah tanya jawab seputar Pekerjaan Sosial ini menyediakan suatu acuan ringkas tentang profesi pekerjaan sosial dan pekerja sosial di Indonesia. Ini disampaikan dalam bentuk  tanya jawab yang diharapkan dapat menambah wawasan dalam pembahasan Rancangan Undang-undang tentang Praktik Pekerjaan Sosial (RUU Peksos).

Risalah ini tidak dirancang sebagai suatu berkas yang bersifat  paripurna. Butir – butir tanya jawab ini terus tumbuh dan berkembang seiring dengan jalannya proses pembahasan RUU Peksos. Penulis mengundang para pembaca untuk menyumbangkan pendapat untuk pemutakhiran risalah ini melalui platform kerjasama online yang telah disediakan, termasuk memberikan rumusan alternatif dan  butir-butir baru pada ruang komentar di bagian akhir dari risalah ini. 

Walaupun risalah disusun dengan sumbangan dari banyak orang, baik melalui kolaborasi dalam grup WA tim advokasi RUU Peksos  maupun sumbangan pribadi-pribadi sejawat yang tidak dapat disebut satu persatu, isi dari risalah ini sepenuhnya menjadi tanggungjawab penyusun.

-0-

Rapat Dengar Pendapat Dewan Perwakilan Daerah RI 29 November 2018

(Disusun oleh Dr. Puji Pujiono, MSW., dengan masukan dari anggota KPSI)

  1. Pengertian pekerjaan sosial

Pelayanan dalam praktik Pekerjaan Sosial adalah penerapan ilmu pengetahuan tentang perkembangan dan perilaku manusia dan interaksinya dengan lembaga –lembaga sosial dan ekonomi, dan budaya, nilai-nilai, prinsip, dan teknik dalam membantu orang perorangan, keluarga, kelompok atau kelompok masyarakat untuk memenuhi hak dasar atas terpenuhinya kebutuhan dan perlindungan serta kesempatan untuk bertumbuh kembang. Ini termasuk kesempatan dan kemampuan untuk menghadapi tantangan, mengatasi masalah, dan bertumbuh kembang secara optimal. Pekerja sosial  membantu klien mendapatkan akses terhadap pelayanan; memberikan konseling dan terapi baik sendiri maupun bersama profesi sejawat, melakukan advokasi dalam proses proses termasuk proses legislatif, kebijakan dan pengadministrasian pelayanan serta pendidikan ilmu Kesejahteraan dan Pekerjaan Sosial.

Bagaimana kuantitas dan kualitas SDM Kesos?

Secara jumlah, terdapat banyak sekali warga negara yang memberikan berbagai bentuk bantuan dan pelayanan kepada sesama warga negara sebagai perwujudan dari semangat kesetiakawanan sosial. Dari sisi mutu, para pelaku Kesos itu mempunyai berbagai latar belakang dari yang tradisional sampai yang profesional, dari pekerja masyarakat sampai penggerak advokasi pada tingkat nasional.
Apakah diperlukan penguatan baik dari sisi kualitas maupun kuantitas terhadap ke 4 SDM tersebut ? 

SDM Kesos sebagai salah satu pilar Kesos perlu untuk terus menerus dikuatan. Perubahan jaman terus berlangsung dan, bersama itu, macam dan jenis tantangan dan permasalahan sosial juga terus berubah. Disamping itu, adalah merupakan aspirasi mereka untuk melakukan dan memperluas pelayanan kesos yang lebih  efektif dan efisien.

Apakah permasalahan yang paling dominan terkait kuantitas maupun kualitas SDM kesejahteraan sosial khususnya pekerja sosial ?

1) Penanganan kebutuhan khusus: SDM Kesos merupakan suatu daya tenaga yang diperlukan untuk menghadapi tantangan dan masalah sosial  serta pembangunan sosial. Bagaimanapun diantara masyarakat Indonesia terdapat tantangan dan masalah-masalah sosial yang karena karakteristik, kompleksitas, maupun potensi implikasinya secara personal dan sosial, medikal atau legal, memerlukan penanganan khusus oleh SDM yang dilatih, diberi keterampilan dan kewenangan khusus, dan diawasi penerapannya untuk menanganinya.

2) Akuntabiliti: Berhubung dengan implikasi dari jenis tantangan dan masalah sosial yang ditangani, maka terdapat potensi masalah yang kompleks dari ketidakjelasan akuntabiliti. Pemberian pelayanan oleh SDM Kesos secara umum yang bersifat kesetiakawanan dan karitatif harus terus didorong dan diperluas. Disisi lain, pelayanan yang memerlukan penanganan khusus menuntut akuntabiliti dari praktik pelayanan yang dilakukan oleh pekerja sosial profesional yang dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan ilmu, keterampilan, dan kewenangan hukum.

3) Perlindungan umum: Dalam konteks tantangan dan masalah sosial yang kompleks dan interaksinya dengan penyedia pelayanan sosial yang beraneka ragam, terdapat risiko bahwa pelayanan kesos juga membawa potensi dampak sampingan yang merugikan. Maka diperlukan suatu kerangka hukum demi menjamin kepastian bahwa “pelayanan khusus” semacam itu sungguh dapat dipertanggungjawabkan, tidak menjadi malpraktik, dan dapat menjadi salah satu alat negara dalam mengadministrasikan tindakan medik, sosial dan legal terhadap warganya.

Profesionalisasi pekerja sosial

Kompleksitas tantangan pembangunan sosial dan masalah sosial di Indonesia memerlukan penguatan salah satu pilar SDM Kesos. Dari sudut jumlah yang relatif paling sedikit diantara SDM Kesos, implikasi praktik dan pelayanan sosial terhadap masyarakat luas, dan akuntabiliti secara mutu dan ketepatan tindakan, maka profesionalisasi Pekerja Sosial menjadi suatu pilihan legislatif yang strategis.

Apakah urgensi pengaturan secara khusus pada tataran UU terhadap pelaku atau pemberi pelayanan  kesejahteraan sosial ? (belajar dari UU Tenaga Kesehatan, kemudian UU Keperawatan dan RUU Kebidanan)

Kerangka legislatif menjadi urgent sebagai suatu landasan, kerangka, dan mekanisme harmonisasi dari kebutuhan akan pekerja sosial profesional. Sudah ada 23 produk ketentuan perundangan dan kebijakan di berbagai sektor yang menyebutkan diperlukannnya “pekerja sosial”. Maka seperti juga pada UU profesi yang lainnya, profesionalisasi pekerja sosial menjadi ugent. Bersamaan dengan itu, reformasi pada bidang pendayagunaan Aparat Sipil Negara akan melibatkan penempatan tenaga profesional pada jabatan-jabatan fungsional yang hanya dapat diisi oleh pekerja sosial yang profesional. Disamping itu, pada tataran regional ASEAN dan global, dan juga dalam prospek masyarakat ekonomi ASEAN, Indonesia telah menyatakan komitmen kearah profesionalisasi pekerja sosial.

Kenapa tidak diatur oleh Peraturan menteri saja seperti ketentuan UU KS?

Ketentuan UU KS mengatur bahwa “teknis” pengaturan perihal akreditasi, kompetensi, standardisasi dan registrasi pekerja sosial diatur oleh Menteri. Bagaimanapun, konteks materi sudah berkembang meluas dan mendalam yang memerlukan suatu peraturan perundangan.

Kenapa tidak dalam bentuk RUU Praktik Pekerjaan Sosial ? — yang muatannya mengatur perihal hal ikhwal praktik pekerjaan sosial yang mencakup misalnya  (i) lingkup praktik pekerjaan sosial, (ii) jenis praktik pekerjaan sosial; (iiI) kegiatan praktik pekerjaan sosial berupa assessment, intervensi, evaluasi, dan terminasi, pelaku praktik pekerjaan sosial.

Pada mulanya DPR pemrakarsai suatu RUU Praktik Pekerjaan Sosial. Pada proses selanjutnya di Baleg, Dewan memutuskan untuk menajamkan fokus RUU  dari pengaturan tentang praktik menjadi pengaturan tentang pelaku profesinya. Penajaman ini perlu didukung karena fokus ini membawa potensi positif dalam harmonisasi dengan reformasi ASN dan kesetaraan profesi Pekerjaan Sosial dengan para sejawatnya di Indonesia.

Lembaga Sertifikasi Pekerjaan Sosial

Bagaimana efektivitas peran dan fungsi lembaga ini ?  terutama jika dikaitkan dengan Pasal 16 RUU Pekerja Sosial dimana penyelenggaraan uji kompetensi oleh perguruan tinggi.

Lembaga Sertifikasi Pekerja Sosial dan Tenaga Kesejahteraan Sosial  yang dibentuk oleh Menteri Sosial merupakan suatu pengaturan interim manakala belum ada peraturan perundangan yang lebih kuat. Konfigurasi dalam RUU Pekerjaan Sosial menekankan kualitas dan akuntabiliti dengan mengatur pemisahan antara pencetak pekerja sosial (perguruan tinggi), pengawas praktik (asosiasi profesi), dan pengatur / regulator (pemerintah). Sertifikasi adalah suatu pernyataan bahwa a) seseorang telah menyelesaikan pendidikan tinggi akademik dalam bidang kesejahteraan atau terapan pekerjaan sosial, b) telah memenuhi persyaratan baik melalui pendidikan pofesi atau penyetaraan praktek lampau, dan oleh karenanya c) lulus ujian kompetensi. Ini semua berada dalam ranah “pencetakan tenaga kerja” yang menjadi tanggung jawab perguruan tinggi.

Persoalan-persoalan apa saja yang selama ini dihadapi dalam proses sertifikasi pekerja sosial ?

Komitmen setengah hati: pemerintah dalam hal ini Kemsos terhadap proses sertifikasi masih setengah hati. Masih banyak pemangku kepentingan yg belum menganggap penting sertifikasi.  Misalnya di Kemensos saja baru SDM Linjamsos saja yg mewajibkan SDM nya tersertifikasi.

Legalitas dan pengakuan terhadap LSPS juga masih belum jelas. Perbaikan Permensos ttg Sertifikasi dan Standar kompetensi sampai sekarang belum di ttd oleh pemerintah.

Dukungan belum optimal dalam hal moril dan material  terhadap pelaksanaan sertifikasi. Tidak ada keseimbangan antara target dan dukungan anggaran.

Belum ada apresiasi terhadap SDM yang tersertifikasi .
Ijin Praktek Pekerja Sosial

 

Apakah selama ini terdapat persoalan (kendala dan hambatan) terkait proses registrasi dan perolehan izin praktik yang diberikan oleh Menteri ?

Konteks hari ini mempunyai kerancuan yang memerlukan ketegasan pengaturan. Registrasi sejatinya adalah bagian dari pengawasan praktik yang menjadi tanggung jawab asosiasi profesi, dan hanya dengan memiliki sertifikat dan registrasi keanggotaan maka seorang pekerja sosial dapat meminta izin praktik (lisensi) dari pemerintah. Saat ini, kedua bagian ini berada pada satu tangan Menteri. RUU Pekerjaan Sosial meletakkan kewenangan pengawasan pada pihak yang bertanggungjawab , yaitu asosiasi profesi, sehingga Menteri dapat memusatkan perhatian pada regulasi terutama dalam melindungi pengguna manfaat dari pelayanan pekerja sosial.

Pelindungan terhadap Pekerja Sosial

Apakah pekerja sosial telah mendapat pelindungan hukum yang memadai ? perlindungan hukum apa saja yang dibutuhkan oleh pekerja sosial ?

Pekerja sosial bekerja dengan berbagai jenis klien yang tantangan dan masalahnya dapat berkaitan dengan konteks dan implikasi sosial, medikal, dan legal. Disisi lain, terdapat sudah ada banyak peraturan perundangan yang mewajibkan kehadiran pekerja sosial untuk bekerjasama dengan profesi sejawat dalam penerapan ketentuannya. Maka, setiap tindakan pekerja sosial berpotensi implikasi hukum, yang pada saat ini belum dirumuskan secara koheren. Didalam jantung praktik pekerjaan sosial profesional, terdapat prinsip kerahasiaan yang dijunjung tinggi antara pekerja sosial dan klien. Tanpa perlindungan hukum, maka baik pekerja sosial atau klien berpotensi melanggar hukum (legal liabilities). Maka RUU ini menjadi suatu produk legislatif yang terbaik untuk memberikan perlindungan hukum semacam itu

Organisasi Profesi.

Sejauh mana peran dan fungsi  organisasi profesi dalam memberdayakan, memberikan perlindungan serta meningkatkan kesejahteraan anggotanya ? Apakah diperlukan adanya 1 wadah berhimpun organisasi profesi atau dibiarkan tumbuh berkembang mengingat adalah hak setiap warga negara untuk berorganisasi menyampaikan pendapatnya ?

Sampai saat ini organisasi profesi pekerjaan sosial belum secara optimal menyelenggarakan fungsi pengorganisasian, pembinaan, pengembangan, dan pemberdayaan, perwakilan, serta perlindungan terhadap anggotanya. Kepastian hukum dalam RUU ini akan memberikan fondasi terhadap fungsi – fungsi di atas dengan mandiri dan berhasil guna. Setiap warga negara, termasuk setiap pekerja sosial, berhak untuk berorganisasi dan membentuk asosiasi profesi maupun sub-sub spesialisasi profesi Pekerjaan Sosial.  Praktik yang berdasar pada hak berorganisasi semata, berpotensi kekisruhan dimana organisasi-organisasi itu menerapkan kerangka kerja yang berbeda-beda. Maka diperlukan suatu ketentuan legislatif yang memberikan kewenangan tanggung jawab dan tanggung gugat kepada SATU organisasi profesi pekerjaan sosial. Adapun pada perkembangannya organsiasi tersebut mendelegasikan kewenangannya kepada organisasi serumpun yang lain, tidak mengurangi akuntabiliti hukum di dalamnya Hanya dengan kewenangan semacam itu maka organisasi dapat memainkan perannya sebagai pilar penting dalam pembangunan kesejahteraan sosial.

Lapangan Kerja

Apakah saat ini telah terjadi ancaman terhadap profesi pekerja sosial di Indonesia dengan masuknya pekerja sosial asing ? sehingga proteksi terhadap pekerja sosial Indonesia perlu dilakukan. Bagaimana peluang kerja pekerja sosial Indonesia di luar negeri  ?

Pasar bersama masyarakat ASEAN adalah suatu realitas jaman sebagai komitmen negara terhadap pembangunan regional. Pada saat gerbang proteksi pasar ketenagakerjaan dibongkar, dan profesi pekerjaan sosial tidak siap, sementara belum dada ketentuan legislatif tentang profesi ini, maka banjirnya tenaga kerja profesional dari negara negara ASEAN akan menjadi mimpi buruk pembangunan dan kesejahteraan sosial di Indonesia. Salah satunya adalah bahwa kita tidak dapat mengendalikan arah praktik pelayanan kesejahteraan sosial, tambahan lagi,pekerja sosial Indonesia akan menjadi “kenek” yang hanya dapat membantu para pekerja sosial asing.

Ditinjau dari sudut perkembangan profesi, Indonesia mempunyai peluang yang sangat bagus. Philippines dan Singapura mempunyai latar belakang dan perkembangan profesi pekerjaan sosial yang sudah sangat mapan; Thailand sudah mempunyai undang –undang pekerjaan sosial sejak tahun 60 an, dan Malaysia yang belajar dari Indonesia sekarang sudah  mempunyai konfigurasi profesi pekerjaan sosial yang sangat mapan. Sementara profesi pekerjaan sosial di Indonesia yang selama ini tidak mempunyai dukungan legislasi terombang-ambing oleh arah dan praktik kebijakan yang tidak pasti, dan tidak dapat menjamin kepastian lapangan kerja serta karir profesi.

Dalam kenyataannya, pendidikan vokasional pekerjaan sosial gulung tikar, jurusan – jurusan kesejahteraan/pekerja sosial membelok ke disiplin lain yang lebih laku dipasarkan, dan profesi ini terancam bangkrut. Dengan UU Peksos, maka semua pilar dan komponen profesi yang selama ini tidak punya kesamaan arah, akan dengan cepat melakukan konsolidasi dan, dengan cepat pula membuka dan dengan agresif bersaing di lapangan kerja pekerjaan sosial di negara – negara lain.

 

Catatan dari perjalanan advokasi RUU sebelum bulan Juli 2018

Apakah praktik profesi Pekerjaan Sosial?

Praktik profesi Pekerjaan Sosial adalah suatu proses tindakan pelayanan, pertolongan, atau perubahan dan pemberdayaan  berdasar kompetensi profesional yang terencana, terpadu, dan berkesinambungan dengan tujuan memberdayakan, menguatkan, memperbaiki atau memulihkan kemampuan untuk berfungsi sosial dari orang-perorangan, keluarga, kelompok, komunitas, organisasi, dan masyarakat.

Titik perhatian praktik ini adalah, konsep fungsi sosial, yaitu antarhubungan orang-perorangan keluarga, kelompok, komunitas, organisasi, dan masyarakat dengan lingkungannya dalam rangka memenuhi kebutuhan dasarnya, melaksanakan peran dan tugas kehidupan di lingkungannya dan mengatasi tantangan dan masalahnya sehingga dapat tumbuh kembang secara memuaskan dan memberikan sumbangsih dalam pembangunan.

1. Apakah pengertian kesejahteraan sosial?

Kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Kesejahteraan sosial juga dimaknai sebagai usaha-usaha yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat  secara terarah, terpadu, dan berkelanjutan dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara, yang meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial. (UUKS 11/2009). Kesejahteraan sosial merujuk pada kondisi sosial dan bukan pada kegiatan derma yang ditandai dengan tiga ciri yaitu tertanganinya masalah sosial, terpenuhinya kebutuhan, dan tersedianya peluang untuk tumbuh berkembang.

2. Apakah pengertian kegiatan amal?

Kegiatan amal adalah suatu tindakan menyedekahkan uang, barang, atau pelayanan, baik secara langsung perorangan atau kelompok atau melalui lembaga amal atau sarana lainnya, kepada  orang atau orang-orang yang dianggap tidak mampu. Kegiatan amal dilakukan secara sukarela berdasarkan tujuan keagamaan atau semata-mata kemurah-hatian tanpa mengharapkan imbalan keuangan, atau setidaknya imbalan keuangan semacam itu tidak dianggap sebagai imbalan yang terpenting. Salah satu ciri terpenting dari kegiatan amal adalah bahwa motivasi si pemberi adalah untuk mendapatkan pahala, pengakuan, atau kepuasan pribadi. Kategori si penerima, kebutuhan si penerima, cara pemberian, dan manfaat dari tindakan pemberian itu terhadap si penerima tidaklah terlalu dipentingkan. Ciri lainnya adalah bahwa kegiatan amal dapat dilakukan secara spontan dan sewaktu-waktu.

3. Apakah pengertian kegiatan sosial?

Kegiatan sosial adalah suatu tindakan pendermaan uang, barang, tenaga,  atau pelayanan oleh perorangan, bersama-sama, atau terorganisasi, terhadap orang, kelompok, atau golongan yang dianggap mempunyai keterbatasan, kekurangan, atau penderitaan sebagai perwujudan kepekaan, kesetiakawanan atau kepedulian terhadap sesama warga masyarakat.

4. Apakah pengertian pelayanan sosial?

Pelayanan sosial merupakan kegiatan terencana dan terorganisasi seperti proyek atau program yang diselenggarakan oleh pemerintah atau lembaga – lembaga lain, dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan atau hak, memastikan jaminan, memberikan perlindungan, maupun untuk memperbaiki, mengatasi masalah ataupun pemberdayaan, demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pelayanan sosial yang dimaksud tidak mengutamakan pertimbangan kriteria pasar dan, oleh karenanya, tidak mementingkan pengembalian modal atau perolehan keuntungan dari pembayaran yang mungkin saja dikutip dari para penerima manfaat layanan. Pelayanan sosial dapat berupa penyediaan subsidi, rehabilitasi sosial, pemberdayaan sosial, jaminan sosial atau perlindungan sosial, dsb.

5. Siapa sajakah yang menyelenggarakan usaha-usaha kesejahteraan sosial?

Usaha-usaha kesejahteraan sosial diselenggarakan oleh lembaga pemerintah, organisasi atau perkumpulan masyarakat baik yang berbadan hukum atau tidak maupun kelompok atau orang-perorangan.

6. Apa sajakah kategori orang-perorangan pelaku usaha-usaha kesejahteraan sosial?

UU No. 11 Tahun 2009, antara lain mengatur tentang pelaku usaha kesejahteraan sosial di Indonesia. Dengan beberapa perubahan, maka kategori pelaku usaha kesejahteraan sosial tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

  1.      Relawan sosial adalah seseorang dan/atau kelompok masyarakat terlatih atau tidak terlatih, berlatar belakang profesi Pekerjaan Sosial maupun bukan, yang melaksanakan kegiatan penyelenggaraan kegiatan di bidang sosial bukan di instansi sosial pemerintah atas kehendak sendiri berdasar tujuan keagamaan, tanggung jawab sosial, dan kemasyarakatan dengan atau tanpa imbalan keuangan.
  2.   Tenaga Kesejahteraan Sosial adalah seseorang yang dididik dan dilatih secara profesional untuk melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial dan/atau seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah maupun swasta yang ruang lingkup kegiatannya di bidang kesejahteraan sosial seperti Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan, Pekerja Sosial Masyarakat, dan Pendamping Program Keluarga Harapan.
    •    Tenaga Kerja Sosial Kecamatan yaitu seseorang yang diberi tugas melaksanakan dan/atau membantu penyelenggaraan kesejahteraan sosial sesuai dengan wilayah penugasan di kecamatan (Permensos 24/2013);
    •   Pekerja Sosial Masyarakat yaitu mereka yang telah mengikuti bimbingan atau pelatihan di bidang kesejahteraan sosial dan berkedudukan di desa/kelurahan (Permensos 10/2014);
    • Pendamping Program Keluarga Harapan adalah pelaksana program yang melakukan pendampingan langsung kepada Keluarga Penerima Manfaat dalam program tersebut.
    •      Penyuluh Sosial yaitu orang-orang pegawai negeri sipil atau tokoh dan anggota masyarakat yang diberi tugas untuk melakukan kegiatan penyuluhan sosial (Permensos 10/2014);
  3.      Pekerja Sosial Profesional (Sosiawan) yaitu mereka yang memiliki kompetensi profesi Pekerjaan Sosial dan  oleh karena kompetensi semacam itu ia berhak mencantumkan gelar dan menggunakannya sebagai mata pencaharian. Kompetensi tersebut terdiri dari 1) kualifikasi akademik  sekurang-kurangnya empat tahun yang diperoleh melalui pendidikan perguruan tinggi ilmu pekerjaan sosial atau kesejahteraan sosial; 2) sekurangnya dua tahun pengalaman praktik tersupervisi oleh pekerja sosial professional (Sosiawan), 3) telah lulus dari ujian kompetensi profesi yang memiliki kewenamgan menyelenggarakan ujian semacam itu, dan 4) menjadi anggota persatuan resmi profesi Pekerjaan Sosial.  Kemudian daripada itu, untuk dapat melaksanakan praktik profesi Pekerjaan Sosial, maka pekerja sosial profesional (Sosiawan) itu wajib mendapatkan, dan atau memperbarui pada waktu habis masa berlakunya,  lisensi praktik profesi Pekerjaan Sosial dari suatu lembaga yang diberi kewenangan untuk itu.

 

Perbedaan Relawan Sosial, Tenaga kerja Sosial, Pekerja Sosial Profesional (Sosiawan)

Aspek Relawan Sosial Tenaga Kerja Sosial Pekerja Sosial Profesional (Sosiawan)
Motivasi Keagamaan, solidaritas social, kemurahan hati Panggilan pengabdian, solidaritas social Bidang kerja dan mata pencaharian berdasar kepakaran
Mandat Bukan di instansi sosial pemerintah; atas kehendak sendiri Lembaga pemerintah/swasta Lembaga pemerintah atau lembaga swasta
Pendidikan/ Pelatihan Pekerjaan sosial maupun bukan pekerjaan sosial Bukan pekerjaan sosial tetapi dididik dan dilatih secara profesional Ilmu Pekerjaan Sosial dan atau Kesejahteraan Sosial pada tataran perguruan tinggi
Imbalan keuangan Dengan atau tanpa imbalan keuangan, sewaktu – waktu Dengan imbalan keuangan, mungkin catu waktu Dengan imbalan keuangan, sepenuh waktu

7. Apakah pengertian profesi Pekerjaan Sosial?

Pekerjaan Sosial adalah suatu profesi yang berbasis praktik, dan suatu disiplin akademik, yang mendorong perubahan dan pembangunan sosial, menjaga keutuhan sosial, serta pemberdayaan dan mengupayakan pembebasan dari ketertindasan. Prinsip-prinsip keadilan sosial, hak asasi manusia, tanggung jawab sosial, dan penghargaan terhadap keragaman merupakan inti profesi Pekerjaan Sosial. Didukung oleh teori-teori ilmu pekerjaan sosial, ilmu kemanusiaan, dan kearifan lokal, profesi Pekerjaan Sosial bekerja dengan orang perorangan dan struktur-struktur untuk mengatasi tantangan kehidupan dan meningkatkan kesejahteraan (Sidang Umum IFSW 2014).

8. Bukankah Pekerjaan Sosial hanya memberikan bantuan material?

Berangkat dari sabda Sunan Bonang, tentang pentingnya memberi makan yang kelaparan, pakaian bagi mereka yang telanjang, tongkat bagi yang buta dan payung bagi yang kehujanan, pemberian atau fasilitasi akses terhadap bantuan material adalah salah satu, dan bukan satu satunya, strategi dalam praktik profesi Pekerjaan Sosial. Dengan semboyan ‘menolong orang untuk menolong dirinya sendiri’, pekerja sosial profesional (Sosiawan) menggunakan satu atau gabungan dari beberapa strategi untuk mendorong perubahan demi perbaikan antarhubungan Kelayan dan lingkungannya. Hanya pada saat genting dan dimana tidak ada pilihan strategi yang lebih berkesinambungan maka, sebagai pilihan terakhir, diberikan bantuan material. Itupun dilaksanakan melalui rujukan kepada mitra lain yang kompeten untuk melakukan penyampaian atau pembagian bantuan barang semacam itu.

Apakah prinsip-prinsip yang mendasari praktik profesi Pekerjaan Sosial?

Beberapa prinsip yang penting dalam praktik profesi Pekerjaan Sosial antara lain:

Keadilan: sikap dan tindakan profesional dalam hubungan kerja yang memperlakukan orang lain tanpa pilih kasih, diskriminasi berdasar agama, ras, pandangan politik, jender, maupun disabilitas dan semata-mata sesuai dengan hak dan kewajibannya

Profesionalisme: suatu praktik yang menggunakan keanggotaan dalam Ikatan Pekerja Sosial Profesional sebagai acuan dan sumber kesadaran perilaku praktik pelayanan; keleluasaan untuk membuat keputusan dalam tindakan pelayanan tanpa campur tangan dari pihak lain; kemitraan yaitu keyakinan bahwa yang paling berwenang untuk menilai praktik tindakan pelayanan adalah sejawat sesama pekerja sosial profesional (Sosiawan); kesadaran akan penggunaan pengetahuan dan kecakapan sebagai perwujudan dari komitmen yang sepenuhnya kepada profesi dan demi mendapatkan kepuasan profesional disamping imbalan materi; dan yang terakhir adalah kemanfaatan yaitu kesadaran tentang pentingya sumbangsih profesi Pekerjaan Sosial kepada masyarakat, nusa dan bangsa.

Akuntabilitas: pekerja sosial profesional (Sosiawan) bertanggungjawab atas tindakan pelayanan dan perilaku profesionalnya  sesuai dengan jenjang dan tingkat kecakapannya sendiri  baik dalam kaitannya dengan kaidah-kaidah yang ditetapkan oleh Ikatan Profesi dan pada lingkup praktik yang diakui oleh peraturan dan perundangan.

9. Apakah misi utama profesi Pekerjaan Sosial?

Didasari oleh kesadaran bahwa kesempatan dan / atau hambatan terhadap emampuan berfungsi sosial, pembangunan sosial dan pencapaian kesejahteraan masyarakat  ditentukan oleh faktor-faktor historis, sosio-ekonomik, kebudayaan, ketataruangan, politis dan kepribadian yang saling berkaitan; dan bahwa hambatan-hambatan struktural ikut serta dalam melanjutkan adanya penelantaran, keterpurukan, ketidaksetaraan, diskriminasi, pengucilan, penghisapan, marginalisasi, dan penindasan, maka profesi Pekerjaan Sosial mempunyai misi utama untuk :

  1. memperbaiki dan meningkatkan kemampuan berfungsi sosial orang – perorangan, keluarga, kelompok, komunitas, organisasi, dan masyarakat;
  2. mendorong perubahan sosial demi pemberdayaan dan pembebasan mereka yang tertindas, terpuruk, atau terpinggirkan
  3. mendorong pembangunan sosial dengan meningkatkan ketahanan sosial masyarakat dalam menghadapi tantangan dan masalah kesejahteraan sosial;
  4. meningkatkan kemampuan dan kepedulian masyarakat dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang melembaga dan berkelanjutan
  5. meningkatkan mutu penatakelolaan penyelenggaraan kesejahteraan sosial sebagai bagian dari pembangunan sosial yang tidak terpisahkan dari pembangunan berkelanjutan

10. Dalam situasi yang seperti apakah profesi Pekerjaan Sosial perlu mendorong perubahan sosial?

Profesi Pekerjaan Sosial mempunyai komitmen dalam menjaga stabilitas sosial sejauh stabilitas itu tidak disalahgunakan untuk mengucilkan, meminggirkan, atau menindas orang –perorangan atau kelompok masyarakat tertentu. Bagaimanapun, profesi Pekerjaan Sosial merasa perlu mengambil tindakan kearah perubahan sosial manakala timbul situasi-situasi di lapangan dimana terjadi pengucilan dan penindasan yang dapat saja terjadi pada tingkat orang-perorangan, keluarga, kelompok ataupun masyarakat, dan oleh karenanya diperlukan perubahan dan pembangunan baik melalui pelayanan langsung (direct services)  yang berpusat perhatian pada kelayan, maupun pelayanan tidak langsung (indirect service) yang berpusat perhatian pada terjadinya perubahan ditingkat lembaga, kelompok, komunitas, sistem lembaga, maupun masyarakat luas.

11. Bagaimanakah cara Profesi Pekerjaan Sosial mengupayakan suatu perubahan sosial?

Profesi Pekerjaan Sosial mengupayakan perubahan dan pembangunan sosial dengan mengembangkan kesadaran kritis dan melalui pengkajian dinamika struktural dari marginalisasi dan penindasan yang terjadi karena penerapan kriteria-kriteria seperti ras, kelas, bahasa, agama, gender, kecacatan, budaya dan orientasi seksual. Dilandasi juga oleh sikap kesetiakawanan dengan mereka yang dirugikan dan tertindas,  profesi Pekerjaan Sosial mengembangkan strategi-strategi tindakan untuk mengatasi hambatan-hambatan yang bersifat pribadi maupun yang struktural tersebut. Beberapa strategi itu melibatkan, tergantung dari besaran Kelayan yang ditangani, peran aktif keluarga, kelompok kecil, lembaga-lembaga sosial dan kemasyarakatan untuk mencapai kemajuan pemenuhan hak asasi manusia dan keadilan baik dari sisi ekonomis, lingkungan dan sosial.

12. Pada tingkat mana sajakah profesi Pekerjaan Sosial melakukan tindakan pelayanan?

Profesi Pekerjaan Sosial melaksanakan perubahan dan pembangunan sosial melalui pemberian pelayanan secara langsung kepada Kelayan (direct service) pada level mikro dengan orang perorangan dan keluarga dan maupun pemberian layanan tidak langsung (indirect service) pada tingkat mezzo dengan kelompok kecil dengan melakukan praktik klinis seperti family therapy, psychosocial therapy, social group work, dan case management, dsb. Sedangkan pemberian layanan pada tingkat makro dilakukan secara tidak langsung dengan lembaga-lembaga, komunitas, dan dalam analisis dan penyusunan kebijakan   pada level makro (institusi, komunitas dan kebijakan) dengan melakukan community organization, advokasi, aksi sosial, dsb.   

Fokus pertama pekerjaan sosial memang adalah orang-orang yang terpuruk dengan model penanganan langsung pada individu, keluarga, kelompok dan masyarakat. Namun demikian, usaha dan praktik pekerjaan sosial secara aktif turut memperbaiki strategi-startegi pembangunan dan program kesehjahteraan masyarakat melalui penelitian, advokasi, perencanaan sosal, aksi sosial dan berbagai model pengembangan masyarakat.  Contoh untuk ini adalah peran pekerja sosial memperbaiki undang-undang perlindungan anak dan pengasuhan anak serta praktik-praktik langsung dengan anak dan keluarga dalam berbagai program untuk meningkatkan kemampuan parenting dan perlindungan anak guna manegatasi masalah kekerasan pada anak.

13. Bagaimanakah profesi Pekerjaan Sosial memaknai pembangunan sosial?

Pembangunan sosial adalah suatu strategi untuk mengambil tindakan kearah perubahan, sebagai tujuan akhir dari perubahan tersebut, dan sebagai suatu kerangka kerja bagi penerapan pendekatan-pendekatannya seperti institutional, residual, atau kebijakan.  Pembangunan sosial itu didasarkan pada kajian-kajian menyeluruh yang meliputi biologis, psikologis, sosial, dan spiritual dan, dari sana, pengambilan tindakan-tindakan dari tataran mikro sampai dengan tataran makro, memadukan berbagai tingkatan sistem sosial, dan kerjasama antar disiplin dan antar profesi.

Profesi Pekerjaan Sosial memaknai pembangunan sosial sebagai suatu pendekatan yang dapat digunakan dalam melakukan praktik pekerjaan sosial. Pekerja Sosial menggunakan pendekatan pembangunan sosial untuk menyelaraskan pembangunan sosial dengan pembangunan ekonomi dan lingkungan seperti melakukan community development / organization, analisis kebijakan, advokasi hingga melakukan aksi sosial. Pembangunan sosial ini pun sejalan dengan prinsip profesi pekerjaan sosial yakni “upholding human rights and social justice” (IFSW).

Sebagai contoh, didorong oleh praktik-praktik terbaik oleh pekerja sosial seperti melalui program kementerian Sosial yaitu Program Kesejahteraan Sosial Anak, Pendamping Program Keluarga Harapan (PKH) dan Pusat Dukungan Anak dan Keluarga, maka kebijakan pembangunan sumberdaya manusia, pengasuhan anak berbasis keluarga dan parenting dapat menjadi prioritas dalam RAN Perlindungan Anak maupun RAN Penghapusan Tindakan Kekerasan pada Anak.

14. Apakah sumbangsih profesi Pekerjaan Sosial terhadap pembangunan berkelanjutan?

Profesi Pekerjaan Sosial berupaya untuk menyelaraskan pembangunan sosial dengan pembangunan ekonomi dan pembangunan lingkungan dibawah naungan Agenda 2030 untuk Pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable Development Goals) untuk mengurangi terjadinya ketimpangan pembangunan. Profesi Pekerjaan Sosial menjadi salah satu penggerak pembangunan sosial sebagai sumbangsih dan bagian tidak terpisahkan dari pembangunan berkelanjutan, terutama dengan menekankan prioritas yang tidak terpisahkan pada aspek-aspek pembangunan sosial, struktural, dan ekonomis dan dengan menolak pemahaman bahwa pembangunan sosial harus menunggu terlebih dahulu tercapainya pertumbuhan ekonomi. Kegagalan seperti ini dapat menimbulkan ketimpangan dimana manfaat dari pertumbuhan ekonomi yang sudah dicapai, hanya dapat dirasakan oleh sekelompok warga.

15. Bagaimanakah profesi Pekerjaan Sosial memandang hak asasi manusia dan keadilan sosial?

Pekerjaan sosial adalah profesi yang paling dekat dengan HAM. Pekerja sosial harus memahami dan menereapkan kode etik ketika bekerja dengan Kelayan dan masyarakat dalam rangkan menghormati harkat dan martabat manusia juga unsur-unsur etis kemanusiaan lainnya seperti hak menentukan diri sendiri, hak untuk dilindungi, hak sebagai individu dan sebagainya. Profesi Pekerjaan Sosial mengupayakan dan menegakkan secara berimbang hak asasi manusia dan keadilan sosial.  Ini berdasarkan keyakinan bahwa tiap-tiap orang terlahir dengan hak-hak dasar yang melekat dan tidak dapat diambil dalam situasi apapun, apalagi kalau pengambilan itu dilakukan atas dasar ras, kelas, bahasa, agama, gender, kecacatan, budaya dan orientasi seksual. Dalam situasi dan kondisi seburuk apapun juga, setiap orang tetap memiliki aspirasi dan potensi, dan oleh karenanya perlu diberi kesempatan, untuk menjadi orang yang lebih baik. Hak asasi manusia hanya dapat diwujudkan sepenuhnya apabila warga masyarakat menunaikan tanggung jawabnya secara pribadi dan secara timbal balik dengan sesama warga masyarakat. Oleh karenanya profesi Pekerjaan Sosial memusatkan perhatian pada perbaikan hubungan timbal balik antara pribadi dan lingkungannya.

16. Bagaimanakah pandangan terhadap HAM ini terwujud dalam profesi Pekerjaan Sosial?

Profesi Pekerjaan Sosial mengembangkan dan menerapkan strategi – strategi yang bertujuan untuk menimbulkan harapan, memulihkan dan meningkatkan harga diri dan potensi kreatif yang sangat diperlukan untuk menjawab dan mengatasi dinamika kekuatan-kekuatan yang menyebabkan dan mempertahankan penindasan, mereformasi struktur-struktur yang menjadi sumber ketidakadilan.

Pekerjaan sosial memiliki prinsip help people to help themselves. Prinsip ini benar-benar mencerminkan prinsip-prinsip HAM akan harkat martabat, kapasitas untuk berkembang, hak menentukan diri sendiri dsb. Dengan lebih menitikberatkan pada perspektif kekuatan (strength perspective) dibandingkan perspektif masalah (problem perspective) profesi Pekerjaan Sosial mendorong keadilan sosial sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 dan Pancasila.

17. Sejauh manakah profesi Pekerjaan Sosial berkomitmen terhadap pemenuhan HAM dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan?

Profesi Pekerjaan Sosial memandang hak asasi manusia terbagi dalam tataran – tataran yang saling menguatkan dan saling tergantung dan perlu diwujudkan dalam komitmen pelayanan baik pada tingkat orang –perorangan maupun kemasyarakatan. Tataran pertama yaitu hak-hak sipil dan politik meliputi kebebasan berbicara, kebebasan nurani dan terbebas dari penyiksaan dan penahanan yang sewenang-wenang; tingkatan kedua sperti hak-hak sosial, ekonomis, dan kebudayaan termasuk hak untuk mendapatkan pada tingkat yang layak dalam hal pendidikan, kesehatan dan perumahan, hak untuk menggunakan bahasa – bahasa minoritas; dan tingkatan ketiga seperti  hak atas alam lingkungan, hak terhadap keragaman hayati, dan keberlangsungan keadilan antar-generasi

Pekerja sosial memastikan HAM tercermin dalam berbagai tindakan sebagai berikut: dalam penyusunan peraturan perundang-undangan terutama yang terkait dengan kesejahteraan sosial. Dalam setiap peraturan perundang-undangan tersebut selalu terdapat prinsip-prinsip yang menghormati HAM; dan dalam praktik dengan Kelayan dimana kajian, perencanaan dan pelaksanaan tindakan penanganan memperhatikan dan mempertimbangkan HAM. Keputusan profesional pekerjaan sosial selalu dilakukan dalam konteks pembahasan dengan Kelayan serta menghormati pendapat Kelayan.

  18. Apakah dasar keilmuan profesi Pekerjaan Sosial?

Salah satu unsur yang membedakan seorang pekerja sosial profesional (Sosiawan) dari pelaku kesejahteran yang lain adalah penguasaan keilmuan. Profesi Pekerjaan Sosial mempunyai dasar keilmuan interdisipliner dan transdisipliner. Sumber utama keilmuannya adalah berbagai teori-teori dan penelitian keilmuan terutama yang terus berkembang di dan dari dalam praktik Pekerjaan Sosial itu sendiri. Disamping itu, profesi ini juga mengambil dari disiplin ilmu humanisme lainnya seperti halnya psikologi, sosiologi, antropologi, maupun ilmu pengembangan masyarakat,  ilmu kesejahteraan sosial, pendidikan sosial, ilmu administrasi, antropologi, ekonomi, manajemen, keperawatan, dsb. Profesi Pekerjaan Sosial membangun dan mengembangkan teori-teori dan penelitian ini bersama para Kelayan dalam proses-proses yang interaktif dan dialogis dan oleh karenanya bersifat terapan dan sangat dekat dengan realitas praktik di lapangan. Dalam kaitan itu dasar keilmuan profesi Pekerjaan Sosial juga membuka diri terhadap keanekaragaman kearifan lokal.

19. Dimanakah Pekerjaan Sosial melakukan praktiknya?

Pekerja sosial profesional (Sosiawan) melaksanakan praktik atau tindakan-tindakan pelayanannya pada simpul-simpul dimana orang berinteraksi dengan lingkungannya. Lingkungan di sini dimaksudkan sebagai berbagai sistem sosial maupun alam lingkungan geografis dimana orang tinggal dan berinteraksi sehingga dengan demikian konteks itu sangat menentukan hidup dan kehidupannya orang tersebut.  Pekerja sosial profesional (Sosiawan) pada umumnya bekerja di lembaga pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat. Akhir-akhir ini seiring dengan meningkatnya kemampuan profesional berbarengan dengan semakin baiknya sistem sertifikasi dan lisensi, maka bebeapa pekerja sosial professional (Sosiawan) telah melakukan praktik perseorangan seperti praktik dokter dan pengacara.

20. Pendekatan apa sajakah yang digunakan oleh pekerja sosial profesional (Sosiawan)?

Dalam menyelenggarakan praktiknya, pekerjaan sosial profesional (Sosiawan) menggunakan pendekatan yang mendayagunakan berbagai keterampilan, teknik, strategi, dan menerapkan prinsip-prinsip untuk melakukan tindakan –tindakan di berbagai tingkatan sistem sosial. Tujuannya adalah untuk memelihara dan memperbaiki, atau bilamana sungguh diperlukan, mengupayakan perubahan – perubahan sistem sosial tersebut. Dengan menerapkan metode-metode partisipatoris, pekerjaan sosial profesional (Sosiawan) bekerja dengan orang-orang dan lembaga-lembaga di lingkungannya untuk bersama-sama mengatasi tantangan-tantangan kehidupan dan memperbaiki kesejahteraan warga masyarakat. Pendekatan partisipatoris ini juga bermakna bahwa sejauh memungkinkan pekerjaan sosial profesional (Sosiawan) memilih “bekerja dengan” dan bukannya “bekerja untuk” warga masyarakat.

20 (bis) Metode-metode apa saja yang digunakan pekerja sosial profesional (Sosiawan) dalam memberikan pelayanan kepada Kelayan?

Berdasarkan tingkatan praktiknya, Pekerja Sosial menggunakan Case Work yang menekankan pendekatan klinis seperti terapi psikososial, pengubahan perilaku, dsb., dalam melakukan tindakan penanganan mikro; Group Work yang mengupayakan perbaikan fungsi sosial melalui melalui dinamika kelompok seperti kelompok swa-bantu, kelompok bermain, dsb., dalam melakukan tindakan penanganan mezzo; dan Community Work yang menekankan pengorganisasian/ pengembangan masyarakat, analisis kebijakan, dan aksi sosial dalam melakukan tindakan penanganan makro. Disamping itu dapat pula diterapkan metode Social Work Administration yang memusatkan perhatian pada strategi penggerakan seluruh komponen organisasi melakukan proses guna menerjemahkan kebijakan lembaga sosial menjadi sistem pelayanan yang paling efektif dan efisien. Akhirnya, metode Social Work Research 
yaitu penerapan tatacara ilmiah untuk menguji dan mengembangkan konsep maupun teori ilmu Pekerjaan Sosial .

21. Apa sajakah sasaran praktik profesi Pekerjaan Sosial?

Pekerja sosial profesional (Sosiawan) melakukan praktik dengan menyasar 1) orang atau orang-orang penerima manfaat atau Kelayan; 2) unsur-unsur lingkungan sosial yang terkait seperti keluarga, sekolah, tempat kerja, tetangga dll.; 3) sistem sumber termasuk lembaga atau orang penyedia pelayanan, dan bila dipandang perlu juga menyasar 4) unsur lingkungan sosial yang lebih luas. Secara tingkatan, Pekerja Sosial melakukan praktik pada tataran mikro, mezzo, dan makro.

22. Apakah pengertian praktik Pekerjaan Sosial?

Praktik Pekerjaan Sosial adalah penerapan secara profesional nilai-nilai, prinsip-prinsip, dan berbagai teknik Pekerjaan Sosial. Profesi pekerjaan sosial pun harus melandasi praktiknya, dengan teori pekerjaan sosial. Tiga teori utama yang mendasari praktik Pekerjaan Sosial dalam mengupayakan kesejahteraan indvidu, kelompok, serta komunitas dalam masyarakat, yakni 1) reflective-theurapeutic, yakni dengan cara meningkatkan serta memfasilitasi pertumbuhan pribadi maupun pemenuhan kebutuhan orang-perorangan; 2) Individualist-Reformist yakni melalui pemenuhan kebutuhan orang-perorangan serta meningkatkan pelayanan-pelayanan sosial di tempat dimana dia berada agar dapat bekerja dengan lebih efektif; dan 3) Socialist-collectivist yakni melalui perbaikan dan perubahan susunan dan tatakerja  masyarakat luas sedemikian rupa sehingga mencegah, mengurangi, atau mengatasi sama sama sekali masalah-masalah yang dihadapi oleh orang-orang yang tertindas atau yang kurang beruntung dan mereka dapat lebih berdikari.

23. Apakah tujuan penerapan praktik Pekerjaan Sosial?

Pekerja Sosial profesional (Sosiawan) melaksanakan praktik Pekerjaan Sosial untuk 1) membantu mengakses pelayanan, menyediakan pelayanan konseling dan psikoterapi bagi orang -perorangan, keluarga dan kelompok; 2) membantu kelompok dan masyarakat untuk menyediakan atau meningkatkan pelayanan sosial dan kesehatan; 3) memfasilitasi keikutsertaan mereka dalam pengambilan keputusan dan penyusunan kebijakan terutama yang berkaitan dengan keperluan hidup dan kehidupan mereka; atau 4) meningkatkan/mengembalikan keberfungsian sosial seseorang agar dapat mengatasi permasalahannya, terpenuhi kebutuhannya, hingga dapat menjalankan peranan-peranannya sesuai dengan status sosial di masyarakat.

24. Apakah ciri utama praktik profesi Pekerjaan Sosial dibanding profesi yang lain?

Ciri utama praktik profesi Pekerjaan Sosial adalah bahwa ia memusatkan perhatiannya pada cara dan pola interaksi antara orang dengan lingkungannya (person in environment / PIE). Profesi Pekerjaan Sosial tidak ‘bekerja untuk’ melainkan ‘bekerja bersama’ Kelayan. Sasaran praktiknya adalah orang atau orang-orang (Kelayan), unsur-unsur lingkungan sosial ( keluarga, sekolah, tempat kerja, tetangga dll yang terkait) , sistem sumber ( lembaga /orang penyedia pelayanan ), dan bila relevan unsur lingkungan sosial yang lebih jauh dan profesi lain.  

25. Mengapa pekerja sosial profesional (Sosiawan) bekerjasama dengan sejawat dari profesi lainnya?

Pekerja sosial profesional (Sosiawan) memandang klien sebagai manusia yang kompleks, hidup dalam konteks sosial yang mempunyai banyak unsur yang terkait dan saling mempengaruhi, dan oleh karenanya selalu dihadapkan pada tantangan dan masalah sosial yang kompleks pula. Sementara itu praktik profesi Pekerjaan Sosial bertujuan membantu penyelesaian masalah secara utuh dan menyeluruh. Pemenuhan berbagai aspek  kebutuhan Dan pemecahan masalah seperti itu tidak mungkin dilakukan oleh profesi pekerjaan sosial sendiri akan memerlukan kerja sama antara pekerja sosial profesional (Sosiawan) dengan profesi / disiplin lain terkait seperti dari kedokteran, sosiologi, psikologi, pedagogi dan yang lain-lainnya.

26. Bagaimana cara sosial profesional (Sosiawan) bekerjasama dengan sejawat dari profesi lainnya?

Pekerja sosial professional (Sosiawan) melakukan kerjasama melalui mekanisme, antara lain, antar-rujukan, kolaborasi, dan jejaring (networking). Cara kerjanya termasuk lintas-disiplin yaitu memandang situasi dari sudut pandang profesi sejawat; interdisipliner dengan memadukan pengetahuan dan metoda dari profesi sejawat melalui pendekatan sintesis; transdisipliner membangun kerangkakerja yang ranahnya meluas ke profesi sejawat; dan multidisipliner yaitu mengundang sejawat profesi lain untuk bersama-sama menyusun dan melaksanakan proses tindakan.

27. Apakah dasar dari pendekatan sejawat pada praktik profesi Pekerjaan Sosial?

Khasanah keilmuan pada praktik profesi Pekerjaan Sosial terbentuk secara eklektik dari berbagai ilmu / pengetahuan misalnya biologi, psikologi, sosiologi, antropologi dan lainnya.  Ilmu-ilmu ini dirangkum dengan praksis dan penelitian dari lapangan yang terus menerus bertumbuh kembang setiap saat. Khasanah keilmuan ini memberi pemahaman pada pekerja sosial professional (Sosiawan) pemahaman tentang kerumitan orang dan masalah  sosialnya dan perlunya bekerja sama dengan pakar sejawat profesi lain yang terkait.

28. Dimanakah berlangsungnya praktik profesi Pekerjaan Sosial?

Pekerja sosial profesional (Sosiawan) menerapkan praktik profesi Pekerjaan Sosial pada suatu wahana (setting) dimana terdapat tantangan dan masalah sosial, misalnya di sistem koreksional dan pemasyarakatan, pelayanan medis, pendidikan dan sekolah, pengadilan dan perlindungan anak, pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan narkotika, penanggulangan bencana, dsb.  Di masing-masing wahana tersebut, terdapat suatu sistem dasar, yaitu tata susunan dan hubungan dari unsur – unsur orang perorangan , keluarga, kelompok, lembaga dan / atau masyarakat yang terkait serta saling mempengaruhi satu sama lain dan, oleh karenanya secara sendiri atau bersama-sama, menentukan kemampuan orang untuk menyelenggarakan tugas-tugas sosialnya baik demi pertumbuhkembangan, penunaian tanggung jawab sosial, dan penyelesaian masalah sosial. Menggunakan konteks ini, Pekerja sosial profesional (Sosiawan) dalam praktik profesinya membantu klien, dan parapihak yang terkait, menemukenali dan menguraikan permasalahan, menentukan bersama  sasaran – sasaran perubahan; memetakan sumberdaya, strategi tindakan, serta kegiatan yang diperlukan untuk mencapai sasaran perubahan tersebut.

28 (bis) Apa sajakah wahana-wahana terpenting praktik Pekerjaan Sosial?

Beberapa wahana yang penting dimana Praktik profesi Pekerjaan Sosial dilaksanakan adalah sebagai berikut:

  • Pelayanan kesejahteraan dan perlindungan anak, remaja, keluarga, dan lanjut usia.
  • Pelayanan pengembangan kelompok, organisasi, serta pengembangan komunitas dan masyarakat.
  • Pelayanan sosial dibidang penanggulangan bencana, konflik, dan pengungsian
  • Pelayanan pemeliharaan penghasilan (bantuan sosial, asuransi sosial, dsb).
  • Pelayanan dan rehabilitasi sosial pada sistem koreksional
  • Pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi orang-orang yang hidup dengan disabilitas
  • Pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi penyitas penyakit kronis dan menular serta adiksi
  • Pelayanan kesejahteraan sosial di bidang industri, bisnis, dan pekerjaan.
  • Pelayanan kesejahteraan sosial di bidang medis, kesehatan umum, dan kesehatan jiwa
  •  Pelayanan kesejahteraan sosial di bidang pendidikan dan sekolah.

29. Apakah unsur-unsur sistem dasar praktik profesi Pekerjaan Sosial?

Sistem dasar praktik profesional Pekerjaan Sosial terdiri dari unsur-unsur yang bekerja sendiri-sendiri dan bersama-sama sebagaimana suatu sistem. Unsur-unsur tersebut adalah: 1)  Unsur klien yaitu orang atau orang-orang yang memerlukan, meminta atau dimintakan untuk menjadi penerima manfaat pelayanan dan oleh karenanya, melalui suatu persetujuan kerja yang formal atau informal, memberikan mandat atau kewenangan kepada pekerja sosial profesional (Sosiawan) untuk melakukan tindakan -tindakan pelayanan; 2) Unsur pelaksana perubahan yaitu pekerja sosial profesional (Sosiawan) yang bertindak sebagai bagian dari suatu lembaga pelayanan atau pembangunan sosial yang secara resmi mempekerjakannya; 3) Unsur sasaran perubahan yaitu orang -atau orang-orang, lembaga, atau masyarakat yang terkait dengan tantangan atau masalah sosial dan oleh karenanya dipandang perlu unutk dirubah demi membantu klien mencapai tujuan pelayanan; dan 4) Unsur kegiatan yaitu rangkaian tindakan tertata, terencana, dan runtut yang dilaksanakan oleh pekerja sosial profesional (Sosiawan) dengan atau bersama-sama dengan klien dan orang atau pihak-pihak yang terkait untuk mencapai tujuan pelayanan. Patut dicatat bahwa kecuali pekerja sosial profesional (Sosiawan), unsur-unsur lain dapat bertukar peran sesuai dengan keperluan dan situasi pelayanan.

29 (bis) Apa sajakah tahapan – tahapan dalam praktik profesi Pekerjaan Sosial 

Pada umumnya praktik profesi Pekerjaan Sosial menerapkan tahapan sebagai berikut: 

Permulaan Pelayanan (Initiation):  yaitu tahapan dimana calon atau calon-calon Kelayan mengalami pertemuan tahap pertama dengan sistem pelayanan sosial.  Pada tahapan ini terjadi proses kontak pertama, perekaman informasi dasar (intake), dan akad atau kesepakatan resmi ataupun tidak resmi untuk memulai hubungan pelayanan.  Proses permulaan pelayanan dapat terjadi sebagai berikut:

Prakarsa lembaga pelayanan: Sosialisasi atau menjemput bola (outreach) kearah calon Kelayan, seperti sosialisasi program pelayanan, identifikasi calon Kelayan, pemberian motivasi, seleksi, dsb.

Prakarsa calon Kelayan: Ada situasi dimana calon Kelayan yang secara aktif mencari pelayanan sosial misalnya mereka yang mengontak, mendapatkan akses online atau datang ke lembaga atau panti sosial. Seperti halnya pasangan yang membutuhkan konseling, orangtua dari anak-anak bermasalah dengan hukum, persatuan remaja yang memerlukan program pengembangan, dsb.

Pelayanan paksa: Kemudian ada pula situasi dimana oleh pihak yang berwenang, seperti sistem hukum pendidikan, kesehatan, dsb., “memaksa” calon Kelayan untuk terlibat dalam hubungan pelayanan. Misalnya mereka yang divonis hukuman percobaan,  mantan narapidana, penyitas Napza,  pasien yang  dipulangkan dari rumahsakit setelah rawat inap kronis, atau penyandang penyakit kronis. 

Pengkajian ihwal pelayanan (assessment): proses pengumpulan,pengkajian, dan penguraian keterangan dari berbagai sisi  tentang situasi Kelayan dengan menggunakan teori dan pendekatan yang sistematik untuk mengungkapkan dan memahami sistem masalah, kebutuhan, dan potensi sumber daya pelayanan atau pemecahan masalah, semacam analisis SWOT. Proses ini berakhir dengan semacam kesepakatan bahwa tindakan pelayanan sungguh diperlukan. 

Perencanaan pemecahan masalah  dan pelayanan (planning): proses perumusan tujuan pelayanan dan sejauh mungkin penetapan indikator-indikator keberhasilan, tindakan-tindakan yang akan dilakukan, pembagian peran, tugas dan tanggungjawab dari pihak-pihak yang terlibat, jadwal dan sumber daya yang akan diperlukan untuk melaksanakan rangkaian kegiatan pelayanan tersebut 

Pelaksanaan tindakan pelayanan (Implementation): proses pelaksanaan rencana pelayanan menjadi tindakan-tindakan yang terstruktur dan sistematik dengan melibatkan interaksi, fasilitasi serta advokasi, dan dimana diperlukan juga intervensi, pemberdayaan dan pengembangan serta penguatan kapasitas yang melibatkan Kelayan dengan berbagai unsur lingkungan sosialnya, pelaksanaan perubahan dan penggerakan sumberdaya. Pada tataran mikro, ini dapat berupa konseling, terapi atau mediasi; pada tataran mezzo dapat berupa kegiatan rekreasional, dinamika kelompok, terapi keluarga; sedangkan di tataran makro dapat berupa advokasi, lobbying dan mobilisasi kelompok – kelompok penekan (pressure group)

Pengakhiran (termination) : proses  penutupan dari suatu rangkaian tindakan pelayanan, atau satu dari banyak tahapan pada suatu pelayanan yang panjang. Proses ini melibatkan peninjauan pencapaian tujuan tindakan pelayanan berdasarkan penilaian terhadap pencapaian indikator-indikator keberhasilan, kelayakan pelaksanaan tindakan pelayanan itu sendiri serta  kesesuaian dengan pendekatan, metode dan jadwal tindakan pelayanan. Berdasarkan kesimpulan ini, Kelayan, pekerja sosial profesional (Sosiawan) dan parapihak, dapat menyepakati untuk mengakhiri hubungan pelayanan dengan cara mengulangi sebagian atau keseluruhan tindakan pelayanan, sungguh-sungguh mengakhiri hubungan pelayanan dengan lembaga pelayanan; atau merujuk kebutuhan dan masalah Kelayan kepada penyedia pelayanan atau parapihak lainnya yang berkewenangan

Dukungan lanjutan (Follow through): proses pemberdayaan dan pendayagunaan sistem sumberdaya untuk memastikan bahwa tujuan pelayanan seperti perubahan perilaku, interaksi, dan kemampuan sumberdaya yang sudah dicapai oleh Kelayan sungguh berakhir memuaskan, atau kalau memang dimaksudkan, berkelanjutan, dan ditindaklanjuti oleh pihak yang terkait.

30. Piranti apakah yang digunakan oleh pekerja sosial profesional (Sosiawan) dalam menyelenggarakan praktik profesi Pekerjaan Sosial?

Piranti terpenting yang digunakan oleh pekerja sosial profesional (Sosiawan) dalam menyelenggarakan praktik profesi Pekerjaan Sosial adalah dirinya sendiri. Dengan penuh kesadaran dan perhitungan, pekerja sosial profesional (Sosiawan) menggunakan dirinya sendiri  untuk bertindak sebagai seorang agen perubahan dalam suatu hubungan kerja pelayanan yang efektif dengan unsur-unsur pada sistem dasar dari masalah sosial yang ditangani, untuk untuk mendorong dan membantu mereka melakukan perubahan-perubahan progresif sesuai dengan tujuan praktiknya. pekerja sosial profesional (Sosiawan) menggunakan suatu kerangkakerja untuk menyusun tindakan pengkajian, perumusan tujuan dan strategi tindakan, dan pelaksanaan proses perubahan dan penilaian hasil capaian. Dalam kerangkakerja ini ia meramu ilmu pengetahuan, wawasan dan sikap profesional disatu sisi, kebutuhan dan masalah sosial serta potensi dan kemampuan Klien di sisi yang lain, kemudian dibingkai dengan konteks kewenangan dan mandat serta kebijakan lembaga dan wahana pelayanan. Kerangkakerja ini cukup runtut dan ajeg untuk diterapkan di berbagai situasi sosial untuk merancang seperangkat tindakan yang terpola  demi menghasilkan perubahan dan pelayanan yang konsisten.

31. Bagaimanakah proses dalam penyelenggaraan praktik profesi Pekerjaan Sosial?

Dalam praktik, pekerja sosial profesional (Sosiawan) melaksanakan suatu rangkaian tindakan yang terencana dan runtut. Ini dimulai dengan pengkajian yang menyeluruh tentang tantangan dan masalah serta konteksnya sesuai dengan sistem dasar yang ada di lapangan; kesepakatan dengan Klien dan lembaga untuk menentukan hasil akhir yang diharapkan dari proses perubahan dan pelayanan; perencanaan tindakan pelayanan; pelaksanaan proses tindakan pelayanan, dan penilaian proses dan hasil perubahan dan pelayanan serta, manakala diperlukan, kembali ke tahap pengkajian lagi untuk proses pada tahapan berikutnya. Dalam pelaksanaannya proses dalam praktik profesi Pekerjaan Sosial tidak selalu berjalan lurus melainkan berkelok-kelok atau bahkan memutar atau iteratif sesuai dengan kerumitan dari tantangan dan masalah yang ditangani dan konteks sistem dasarnya. Walaupun demikian, pekerja sosial profesional (Sosiawan) tetap harus mengikuti suatu pakem yang baku seperti digariskan oleh lembaganya, dan sesuai dengan arahan dan kebijakan dari pihak yang berwenang.

32. Apakah pengertian penerima manfaat pelayanan dalam praktik profesi Pekerjaan Sosial?

Penerima manfaat pelayanan, atau disebut Kelayan  (Client) adalah orang atau orang-orang yang meminta atau dimintakan, dan oleh karenanya,h  menerima atau menggunakan, pelayanan dari pekerja sosial profesional (Sosiawan) dalam rangka mengembangkan, memperbaiki atau memulihkan fungsi sosialnya demi meningkatkan kesejahteraannya.

33. Siapa sajakah Kelayan pada praktik profesi Pekerjaan Sosial?

Kelayan dapat berupa orang perorangan, keluarga, kelompok kecil, lembaga atau suatu masyarakat (komunitas). Orang atau lembaga yang menjadi Kelayan bisa jadi mempunyai keberfungsian sosial yang memadai dan, melalui hubungan pelayanan dalam praktik profesi Pekerjaan Sosial, mengharapkan atau diharapkan untuk dapat mengembangkan lebih jauh kemampuannya. Misalnya kelompok remaja, karang taruna,  majelis pengajian, masyarakat perdesaan, dsb. Bisa juga orang atau lembaga yang merasa, atau dinilai oleh orang lain, menghadapi tantangan dan kesulitan dalam melaksanakan fungsi sosialnya atau untuk tumbuh kembang secara lancar dan memuaskan dalam kehidupan sosialnya. Ini bisa berupa kondisi atau karakteristik yang berkekurangan, cacat, miskin, yatim atau piatu, atau kerusakan misalnya pelanggar hukum, pengguna narkotika dan obat terlarang,  Ada pula yang mengalami dampak negatif dari suatu situasi atau kondisi seperti masyarakat miskin, korban bencana, korban perundungan, dsb. Dalam hal pelayanan yang berupa administrasi, pembangunan, dan kebijakan sosial, maka Kelayan yang dimaksud adalah masyarakat luas secara umum.

34. Bagaimana orang atau orang-orang menjadi Kelayan pada praktik profesi Pekerjaan Sosial?

Orang perorangan, keluarga, kelompok kecil, lembaga atau suatu masyarakat (komunitas) dapat menjadi Kelayan pada praktik profesi Pekerjaan Sosial dengan secara sukarela mencari dan meminta pelayanan sosial kepada suatu  lembaga sosial, ataupun dirujuk atau diharuskan oleh pihak lembaga lain yang berwenang dan oleh karenanya menjadi penerima manfaat pelayanan semacam itu.

35. Bagaimanakah hubungan antara pekerja sosial profesional (Sosiawan) dan Kelayan dalam praktik profesi Pekerjaan Sosial?

Berbeda dari hubungan antara dermawan atau relawan dan penerima manfaat yang kebanyakan ditentukan  sendiri oleh si pelaku, hubungan pelayanan pada praktik profesi Pekerjaan Sosial merupakan suatu hubungan professional, berkesadaran dan terencana yang didasari oleh disiplin ilmu pengetahuan, dilaksanakan dengan ketrampilan, teknik dan metoda yang baku, serta diatur dan dibatasi oleh etika profesi Pekerjaan Sosial. Hubungan pelayanan mensyaratkan adanya kesepakatan, baik secara lisan atau dalam bentuk yang lain, untuk memulai proses pelayanan, dan berakhir setelah ada kesepakatan bahwa pelayanan telah mencapai tujuannya, atau dipandang perlu untuk dirujuk kepada pihak lain. Selama hubungan pelayanan semacam itu, tanggungjawab utama seorang pekerja sosial profesional (Sosiawan) adalah untuk meningkatkan kesejahteraan pihak Kelayan sejauh tidak mengganggu atau melanggar kesejahteraan masyarakat yang lebih luas.

36. Apakah Lembaga Pelayanan Sosial itu?

Lembaga Pelayanan Sosial adalah lembaga Pemerintah, pemerintah daerah, atau non pemerintah yang menyediakan pelayanan langsung kepada Kelayan tanpa mencari laba yang bersifat keuangan. Dengan mempekerjakan pekerja sosial profesional (Sosiawan) lembaga pelayanan sosial menyediakan pelayanan yang dapat berupa pembinaan dan pencegahan, penanganan atau penyelesaian masalah, pemberdayaan,  ataupun pemulihan dari dampak masalah sosial. Lembaga Pelayanan Sosial bertujuan untuk meningkatkan fungsi Sosial Kelayan sehingga lebih berdikari, tumbuh kembang dengan sehat dan sejahtera.

37.  Bagaimanakah keadaan lingkungan pendidikan profesi Pekerjaan Sosial di Indonesia ? (RDPU, 13 Nov 2014)

Pendidikan Pekerjaan Sosial di Indonesia diawali dari kursus keterampilan sosial dasar dan dilanjutkan dengan kursus keterampilan sosial lanjutan, kemudian pendidikan kesejahteraano sosial di perguruan tinggi.

Para pejabat Dan pakar memandang  semakin meningkatnya kesenjangan antara perkembangan masalah sosial dengan pelayanan sosial melalui badan pelayanan sosial.

Mengingat jumlah lembaga pendidikan pekerja sosial yang masih terbatas dan belum semuanya memenuhi standard sesuai dengan persyaratan, maka lahir Ikatan Pendidikan Pekerjaan Sosial pada 12 April 1986, until standardisasi kualitas demi menghasilkan sumber daya yang mahir dan siap bekerja.

Ada 35 perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan pekerjaan sosial/kesejahteraan sosial.

Nomenklatur pendidikan tinggi sementara ini antara lain adalah:  kesejahteraan sosial, sosiologi konsentrasi kesejahteraan sosial, pengembangan masyarakat konsentrasi kesejahteraan sosial, pembangunan sosial dan kesejahteraan.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor tentang pendidikan tinggi, maka penjenjangan pendidikan Pekerjaan Sosial adalah sebagai berikut:

Mengacu pada Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional maka idealnya pendidikan tinggi Pekerjaan Sosial dapat mempunyai penjenjangan sebagai berikut:

Vokasi Pekerjaan Sosial, adalah sistem pendidikan tinggi yang diarahkan pada penguasaan keahlian terapan praktik profesi Pekerjaan Sosial. Diploma I (D1) Ahli Pratama Pekerjaan Sosial (A.P Peksos); diploma II (D2) Ahli Muda Pekerjaan Sosial (A.Ma. Peksos); diploma III (D3) Ahli Madya Pekerjaan Sosial (A.Md. Peksos); dan diploma IV (D4) atau Sarjana Terapan (S.Tr) Sarjana Terapan Pekerjaan Sosial (S.Tr. Peksos),

Pendidikan akademik Pekerjaan Sosial, adalah sistem pendidikan tinggi yang diarahkan pada penguasaan dan pengembangan disiplin ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni Pekerjaan Sosial yang mencakup program pendidikan sarjana (S1) Sarjana Pekerjaan Sosial (S.Peksos), magister atau master (S2) Magister Pekerjaan Sosial (M. Peksos); dan doktor (S3) Doktor Pekerjaan Sosial (DR. Peksos).

Pendidikan profesi Pekerjaan Sosial, adalah sistem pendidikan tinggi setelah program pendidikan sarjana yang menyiapkan peserta didik untuk menguasai keahlian khusus profesi Pekerjaan Sosial. Lulusan pendidikan profesi mendapatkan gelar profesi Pekerjaan Sosial. Setelah bergelar S. Peksos, seseorang menempuh pendidikan profesi Pekerjaan Sosial, maka dia akan memperoleh gelar (Sosiawan)

Salah satu yang khas di Indonesia, adalah adanya pendidikan  Pekerjaan Sosial di tataran sekolah menengah atau SMK

Dari 35 perguruan tinggi yang tersebut, beberapa diantaranya melarikan diri dari bidang pekerjaan sosial yang dianggap belum menjanjikan dan lulusannya berpindah kerja ke bidang lain

Beberapa tantangan dan peluang dari sudut  pandang Pendidikan Pekerjaan Sosial dewasa ini termasuk adanya kesenjangan antara kondisi praktik profesi Pekerjaan Sosial di Indonesia dan kalangan internasional.  Masih lemahnya legitimasi profesi pekerja sosial di masyarakat terkait dengan belum adanya payung hukum perundangan yang memadai. Dari sisi regional ada kesenjangan Indonesia dalam memenuhi komitmen dalam konteks Asean Community yang mensyaratkan, antara lain, formalisasi profesi Pekerjaan Sosial. Tambahan lagi, standard internasional dalam pelayanan seperti halnya kesehatan dan medik, pendidikan, kepolisian dsb., menuntut hubungan kerja yang formal dengan profesi Pekerjaan Sosial. Contoh,  pemenuhan status rumah sakit internasional dan sekolah internasional menuntut adanya pelayanan Pekerjaan Sosial yang profesional.

38. Bagaimanakah keadaan praktik profesi Pekerjaan Sosial di Indonesia dewasa ini?

Meskipun Pekerjaan Sosial adalah profesi yang relatif muda di Indonesia, sekarang telah berkembang menjadi suatu profesi yang semakin mapan. Para pekerja sosial profesional (Sosiawan) sekarang terintegrasi di berbagai kementerian terutama Kementerian Sosial, kesehatan dan rumah sakit, pelayanan lembaga – lembaga pengadilan dan pemasyarakatan, kesejahteraan anak, perawatan manula, penyandang cacat dsb., dimana metode casework memegang peranan penting. Pekerja sosial professional (Sosiawan) yang bekerja di LSM dan lembaga-lembaga internasional pada umumnya lebih berkesempatan menerapkan metode profesi Pekerjaan Sosial yang lebih bersifat kemasyarakatan seperti dalam bidang kesejahteraan anak berbasis masyarakat, penanggulangan bencana, advokasi dan pengembangan masyarakat dengan ‘kelompok’ tertentu seperti anak jalanan, petani, kaum miskin kota, atau pekerja migran, dsb.

39. Issue-issue apakah yang menjadi penghambat perkembangan praktik profesi Pekerjaan Sosial di Indonesia?

Praktik profesi Pekerjaan Sosial di Indonesia menghadapi beberapa issue yang perlu diselesaikan jika profesi ini diharapkan untuk dapat diandalkan sebagai salah satu pilar dari pembangunan dan perubahan sosial.  Beberapa diantaranya adalah: 1) Jumbuhnya istilah pekerjaan sosial sebagai praktik professional dengan kegiatan sosial yang berbasis amal, kedermawanan, dan kesukarelaan. Akibatnya, terkembang kesalahpahaman yang meluas bahwa pekerjaan sosial dapat dilakukan oleh siapa saja, dan siapa saja dapat melaksanakan pekerjaan sosial; 2) peraturan perundangan dan kebijakan yang tidak memilah secara tegas antara kategori-kategori tenaga kesejahteraan sosial; yaitu antara mereka yang bersifat sukarelawan, tenaga terlatih, dan pekerja sosial profesional (Sosiawan) sehingga terjadi kerancuan yang meluas antara pejabat fungsional (eksklusif professional) dan pejabat struktural (administrasi dan manajemen ) bahkan pada sektor-sektor kunci pada bidang kesejahteraan dan pelayanan sosial; 3) belum ada hukum dan perundangan yang mengakui dan mengatur tentang bidang kerja eksklusif dan praktik profesi Pekerjaan Sosial dan, dalam kaitan itu, tentang kualifikasi kompetensi, hak dan tanggung jawab, perlindungan dan akuntabiliti pekerja sosial professional (Sosiawan).

40. Apakah dampak dari issue-issue yang terkait dengan kesenjangan peraturan dan perundangan tentang praktik profesi Pekerjaan Sosial di Indonesia?

Beberapa dampak umum termasuk sebagai berikut: 1) usaha-usaha kesejahteraan sosial termasuk kebijakan, administrasi dan pelayanan sosial di Indonesia kurang mendapat dukungan yang optimal dari kematangan profesi Pekerjaan Sosial dan jaringannya di kawasan ASEAN, Asia Pasifik, maupun global. Dengan demikian memperdalam kemungkinan terjadinya ketimpangan dalam penyelenggaraan dan pencapaian pembanngunan yang berkelanjutan; 2) negara tidak dapat memastikan pelayanan profesional yang sebaik-baiknya dan yang dapat dipertanggungjawabkan bagi rakyat Indonesia yang masuk dalam kategori  seperti fakir miskin dan anak terlantar yang menjadi tanggung jawab negara, serta kategori – kategori lain termasuk mereka yang menyandang kekurangan, penderitaan, berada dalam posisi berlawanan dengan hukum, dan korban penindasan; dan 3) Sehubungan dengan sifatnya yang berpihak kepada mereka yang kurang beruntung, pandangannya yang selalu menanamkan harapan positif, dan sikapnya yang progresif terhadap keadilan sosial, profesi Pekerjaan Sosial berkembang pesat di negara-negara ASEAN, di kawasan Asia dan secara global. Sedangkan Indonesia mengalami kemandegan. Pada saatnya nanti, dimana pasar tenaga kerja regional dan global akan terbuka, maka pasar kerja penanganan masalah sosial dan penyelenggaraan pelayanan sosial  akan dibanjiri oleh pekerja asing dengan sedikit atau tanpa perlawanan dari dalam negeri.

41. Kenapakah praktik profesi Pekerjaan Sosial perlu diatur oleh peraturan perundangan?

Pembangunan dan pelayanan serta keadilan sosial adalah suatu cita-cita dan mandat konstitusional serta sektor pembangunan yang vital. Sementara secara umum sektor ini diselenggarakan oleh masyarakat awam, diantaranya ada bidang-bidang yang berkenaan dengan urusan yang rumit, rahasia, bahkan berkaitan dengan keselamatan baik orang-perorangan, kelompok atau orang banyak,  sehingga memerlukan kebijakan, program, atau penanganan oleh  pekerja sosial  profesional (Sosiawan). Maka diperlukan peraturan perundangan demi memastikan perlindungan terhadap para menerima manfaat dari pelayanan yang bersifat substandar. Juga, bidang-bidang tersebut bersifat lintas sektoral dan kementerian serta melibatkan berbagai parapihak sehingga memerlukan peraturan perundangan. Dilain pihak, tradisi dan perkembangan profesi Pekerjaan Sosial yang telah tumbuh dan berkembang bersama dengan kemerdekaan Republik Indonesia perlu mendapatkan payung hukum agar dapat terus tumbuh berkembang menjadi salah satu pilar pembangunan dan pencapaian cita cita keadilan sosial.

42. Bagaimanakah  caranya mengatur praktik profesi Pekerjaan Sosial dengan perundangan tanpa menghalangi hak orang untuk menyelenggarakan kegiatan sosial?

Usaha-usaha kesejahteraan sosial sejak hari pertama kemerdekaan Republik Indonesia, diselenggarakan oleh masyarakat luas mulai dari orang-perorangan, keluarga, tokoh masyarakat, kelompok-kelompok dan lembaga kemasyarakatan baik sendiri-sendiri ataupun secara terorganisasi. Mereka adalah pelaku -pelaku kegiatan sosial, dan sekaligus modal sosial utama atau social capital dalam pembangunan dan penyelesaian masalah sosial, yang berasal dan berada di lingkungan paling dekat dari warga masyarakat yang memerlukan pelayanan dan perubahan sosial. Dalam peraturan perundangan tentang kesejahteraan sosial sebagai payung legislasi umum  (lex generalis) diatur- antara lain – bagaimana menumbuhkan, memupuk, mengurus dan mengoptimalkan  semangat, tenaga dan kesetiakawanan serta sumbangsih dalam bentuk kegiatan relawan, kelompok atau korps tenaga terlatih. Mereka diakui dan dihargai dalam kategori tenaga kesejahteraan sosial yang berkedudukan terhormat sebagai pelaku utama usaha kesejahteraan sosial, mitra dalam tindakan penanganan dan bahkan  banyak diantara mereka yang dilatih sebagai ‘para-profesional‘. Hanya dalam kaitannya dengan sebagian kecil dari semesta kesejahteraan sosial, manakala diperlukan penanganan tindakan yang khusus, terencana, dan akuntabel, maka dilakukan pengaturan perundangan khusus (lex specialis) untuk mengatur peran dan tanggung jawab pekerja sosial profesional (Sosiawan) sebagai tenaga kerja yang mempunyai kompetensi untuk mempunyai matapencaharian, dan oleh karenanya diberi imbalan keuangan, untuk menyediakan kegiatan dan pelayanan sosial semacam itu.

43. Pihak manakah yang akan menanggung pembiayaan praktik profesi Pekerjaan Sosial manakala sudah menjadi obyek peraturan perundangan?

Berdasarkan definisi klasik barang milik umum (public goods), kegiatan dan pelayanan sosial adalah produk milik umum yang ditentukan oleh struktur sosial, ekonomi dan politik yang membentuk kesejahteraan rakyat dan bukan oleh tindakan orang-perorangan. Jadi meskipun hanya sebagian warga masyarakat yang menikmati pelayanan dan kegiatan sosial, manfaatnya dirasakan oleh masyarakat umum, dan pemberian pelayanan kepada kelompok khusus ini tidak mengambil alih pelayanan kesejahteraan secara umum. Misalnya pelayanan penanganan korban Napza, korban bencana, perlindungan anak, manfaatnya tidak berhenti pada orang-orang bersangkutan, tetapi juga pada masyarakat luas. Kecuali dalam hal si Kelayan atau keluarganya memerlukan penanganan khusus, dimana pelayanan itu kemudian menjadi barang pribadi (private goods). Dalam konteks ini, ongkos praktik profesi Pekerjaan Sosial yang diatur oleh perundangan menjadi penyediaan barang atau pelayanan umum yang selayaknya dibiayai oleh negara melalui kementerian dan lembaga yang bertanggungjawab dalam kesejahteraan sosial, terutama tetapi tidak terbatas pada Kementerian Sosial, dan mitra mitra mereka dari lembaga-lembaga non-pemerintah.

44. Benarkah anggapan bahwa jumlah pekerja sosial profesional (Sosiawan) di Indonesia hanya sedikit?

Benar. Saat ini di Indonesia diperkirakan terdapat hanya sekitar 36.000 pekerja sosial lulusan dari 31 Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan pendidikan Pekerjaan /Kesejahteraan Sosial. Tidak diketahui secara pasti berapa diantara mereka yang memperoleh kompetensi, dan berapa pula sebagian kecil dari mereka yang sungguh-sungguh memperoleh sertifikasi dan atau lisensi untuk melaksanakan praktik profesi Pekerjaan Sosial. Keadaaan menjadi lebih memprihatinkan adalah semakin menyusutnya jumlah lulusan karena banyak lembaga pendidikan pekerjaan / kesejahteraan sosial yang lulusan pendidikannya tidak mendapatkan jabatan profesional pekerjaan sosial, terpaksa mewadahi kajian ilmu sosial umum atau kajian pembangunan untuk memastikan keberlanjutan programnya di pasaran kerja.

45. Mengapa tidak semua alumni pendidikan pekerjaan sosial/kesejahteraan sosial mau menjadi pekerja sosial?

Tanpa adanya peraturan perundangan (lex specialis) tentang praktik profesi Pekerjaan Sosial maka bidang khusus kegiatan dan pelayanan sosial bersifat terbuka untuk dilaksanakan oleh siapa saja dari disiplin apapun selain profesi Pekerjaan Sosial. Antara lain dengan alasan memenuhi kebutuhan umum dan tuntutan program, Kementerian Sosial dan lembaga pemerintah membuka kesempatan kerja pada lulusan disiplin selain profesi Pekerjaan Sosial,  untuk mengisi jabatan – jabatan pada bidang-bidang pelayanan khusus (fungsional). Ditambah lagi, dikeluarkannya peraturan-peraturan yang merancukan praktik profesi Pekerjaan Sosial dengan pelaksanaan program dan proyek kegiatan pelayanan sosial oleh tenaga kerja yang dilatih dalam hitungan beberapa minggu atau bulan. Maka pengakuan, perlakuan dan perlindungan terhadap praktik profesi Pekerjaan Sosial semakin kabur dan lemah. Berkembang kepercayaan bahwa pekerjaan sosial dapat dilakukan oleh siapa saja, dan siapa saja dapat menjadi pekerja sosial. Tanpa batasan yang jelas, maka lemah atau tidak ada pula jaminan lapangan kerja, imbalan keuangan yang memadai, dan tidak adanya kebanggaan korsa (pride in corps) sebagai insentif terpenting dari pekerja sosial profesional (Sosiawan). Maka banyak lulusan pendidikan profesi Pekerjaan Sosial yang memilih  bekerja di bidang-bidang yang agak bernuansa profesi Pekerjaan Sosial, dan banyak lagi yang malah menyeberang ke bidang-bidang yang samasekali tidak berhubungan dengan kegiatan dan pelayanan sosial .

46. Apakah peran etika dalam praktik profesi Pekerjaan Sosial?

Pekerja sosial profesional (Sosiawan) ketika memberikan layanan kepada masyarakat, diwajibkan untuk mendayagunakan pengetahuan dan keterampilan khusus profesi Pekerjaan Sosial baik dalam membuat penilaian, mencapai keputusan, dan menerapkan keterampilan yang sebaik-baiknya demi kemaslahatan masyarakat luas. Dalam kaitan itu perilaku, pemikiran, dan nurani para pekerja sosial profesional (Sosiawan) diatur oleh standar perilaku profesional yang dimuat dalam suatu Kode Etik yang berlaku internal di dalam Ikatan Pekerja Sosial Profesional Indonesia. Kode Etik ini mengatur hubungan kerja antara pekerja sosial profesional dengan lingkungan kerjanya, antara lain dengan Kelayan, dengan lembaga yang mempekerjakannya, dengan sejawat profesinya dna dengan profesi Pekerjaan Sosial. Para anggota wajib menaati kode etik ini demi mencegah penyalahgunaan hubungan kerjanya dengan Kelayan, saling menghargai dengan para sejawat, dan menjaga integritas serta terus menerus meningkatkan profesi Pekerjaan Sosial. Pada akhirnya, dengan menaati Kode Etik itu, pekerja sosial profesional (Sosiawan) juga mempertahankan dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap profesi Pekerjaan Sosial dan mendorong masyarakat untuk terus mempergunakan pelayanan mereka

47. Apakah praktik profesi Pekerjaan Sosial sudah memadai secara materi, untuk diatur oleh suatu perundangan? (RDPU Komisi VIII , 29 Jan 2018)

Undang-Undang disusun dan diperlukan untuk mengatur suatu ranah praktik yang semakin kompleks dan semakim luas pemikirannya. Praktik profesi Pekerjaan Sosial sudah cukup kompleks untuk diatur dalam suatu undang-undang. Bidang kerja ini dapat dibedakan secara mendasar dari kegiatan sosial awam, yaitu suatu bidang pekerjaan amal, derma, dan kesukarelawanan. Sebagai suatu bidang kerja profesional, Pekerjaan Sosial adalah suatu sistem yang cukup kompleks dan terpadu antara unsur keilmuan dan penelitian, unsur nilai dan etika, ketrampilan khusus, dan penatakelolaan baik secara formal maupun sebagai suatu masyarakat praktisi. Secara de jure, dimulai dari konstitusi Republik Indonesia, telah diturunkan berbagai peraturan dan perundangan yang mengatur, baik secara tidak langsung, tentang praktik profesi Pekerjaan Sosial. Sedangkan secara de facto, telah terbangun suatu preseden historis sejak hari pertama kemerdekaan republik Indonesia sampai dengan hari ini, dan terus meningkatnya kebutuhan negara Indonesia akan suatu profesi yang dapat menjadi motor pada sektor pembangunan sosial terutama. Profesi Pekerjaan Sosial adalah penggerak utama bidang-bidang pelayanan, perubahan, dan penguatan sosial kearah pencapaian kesejahteraan sosial sebagai cita-cita bangsa.

48. Bagaimanakah dinamika pembahasan formalisasi praktik dan peran organisasi profesi Pekerjaan Sosial di Indonesia? (RDPU Komisi VIII, 29 Januari 2018)

Pembahasan tentang formalisasi praktik profesi Pekerjaan Sosial sudah berlangsung sejak tahun 1961. Tetapi proses ini mengalami kecacatan nomenklatur. Sebenarnya, yang diinginkan adalah suatu praktik profesional pekerjaan sosial, dimana praktisinya dinyatakan mempunyai dasar keilmuan, ketrampilan khusu, dan etika praktik seperti layaknya seorang dokter yang harus bisa menyembuhkan, dan hanya orang yang bersertifikat yang bisa masuk kategori profesional dalam praktik pekerja sosial. Pada masa Order Baru, terdapat berbagai tatanan kebijakan yang cukup teratur dan menentukan penugasan pekerja sosial profesional (Sosiawan) di Rumah Sakit, di lembaga pemasyarakatan dan di kalangan Departemen / Kementerian Sosial,  serta tumbuhnya berbagai perkumpulan Pekerjaan Sosial. Dalam perkembangannya, pembahasannya melebar kemana-mana dan tidak lagi beraturan seperti gado-gado. Sementara secara de jure, bertumbuhan peraturan perundangan yang mengamanatkan praktik profesi Pekerjaan Sosial, seperti halnya  UU tentang Pengadilan Anak. Sementara para pekerja sosial profesional (Sosiawan) berupaya menunjukkan eksistensinya, namun hal mendapat tantangan bahkan oleh seorang menteri sosialnya sendiri. Walaupun tampil dengan benar, organisasi pekerja sosial disudutkan dan tidak mendapatkan pembenaran dan dukungan. Dengan kebijakan pemerintah yang tidak mendukung seperti itu, maka pekerja sosial profesional (Sosiawan) semakin sulit untuk berperan dan banyak praktisi yang tidak bersedia lagi bergabung dengan organisasi-organisasi profesi dan lebih memilih untuk tampil sendiri saja. Semakin hari bidang praktik profesi Pekerjaan Sosial menjadi semakin tidak teratur dan, tidak mengherankan, apabila banyak pekerja sosial yang memilih untuk berhenti menjadi pekerja sosial.

49Mungkin pekerja sosial adalah orang kaya-kaya berkelebihan yang bermodal keikhlasan, ketulusan, dan tekad untuk membantu orang lain. Kalau demikian, bagaimanakah mereka membagi waktu antara mengurus keluarga dan begitu banyaknya waktu tersita untuk kegiatan keluar demi kesosialan itu?” (RDPU Komisi VIII, 23 Nov 2014)

Pekerja sosial profesional (Sosiawan) bukanlah orang-orang kaya berlebihan, bukan pula terdorong semata-mata oleh rasa tulus ikhlas untuk membantu sesamanya. Mereka adalah orang-orang biasa, seperti pekerja profesional lainnya, yang mempunyai kualifikasi akademik dan kompetensi profesi. Berdasarkan itu, mereka melakukan penerapan seni pendayagunaan ilmu pengetahuan, teknik tindakan, dan kepakaran pelayanan sosial dan, oleh karenanya, memperoleh imbalan keuangan yang menjadi pendapatan dan matapencahariannya. Mereka mempunyai jam dan hari kerja seperti juga pegawai lainnya dan berusaha menyeimbangkan kehidupan berkarir, beribadah, bermasyarakat dan tentunya berkeluarga.

50. Apakah praktik Pekerjaan Sosial dapat disetarakan legitimasi hukum dan kewenangannya dengan Tenaga Kesejahteraan Sosial (TKS)sehingga bisa bersinergi sebagai tim kerja yang erat?

Penyelenggaraan usaha-usaha kesejahteraan sosial memang memerlukan kerjasama yang erat diantara para pelakunya dibawah naungan mandat lembaga pelayanan sosial tempat mereka bersama-sama bekerja, dan tujuan dan sasaran pelayanan dimana pelayanan mereka dirangkai bersama. Para pelaku itu termasuk a) tenaga Relawan Sosial; b) tenaga kerja terlatih termasuk Tenaga Kesejahteraan Sosial (TKS), Pekerja Sosial Masyarakat (PSM), Penyuluh Sosial; dan c) pekerja sosial profesional (Sosiawan) dipihak yang lain. Keeratan kerjasama ini, bagaimanapun juga, harus dilaksanakan dengan erat dan saling melengkapi sesuai dengan peran dan tanggungjawab sesuai dengan karakteristik, mandat, dan kepakaran masing-masing. Perbedaan motivasi, kualifikasi, kompetensi membuat kesetaraan dalam legitimasi hukum dan kewenangan menjadi kurang bermanfaaat.  Misalnya, seorang relawan sosial mempunyai peranan yang sangat penting untuk memberikan pelayanan yang bersifat umum tetapi memerlukan sentuhan pribadi. Mereka melaksanakannya berdasar niat kesukarelaan yang tulus dan dapat menentukan kapan dan siapa yang akan dibantunya. Tentunya seorang Relawan tidak boleh dituntut untuk melakukan pelayanan seperti halnya seorang Sosiawan yang harus membuat pengkajian, perencanaan dan pelaksanaan tindakan klinis dimana cara dan proses pelaksanaanya harus sistematik dan benar; dimana kekhilafan atau penyalahgunaan dapat dituntut secara hukum. Demikian juga seorang tenaga terlatih, mereka mempunyai peranan yang sangat penting untuk menyebarluaskan jangkauan pelayanan sosial dan untuk itu mereka dilatih selama beberapa minggu sampai beberapa bulan untuk dapat melaksanakan jenis-jenis pekerjaan yang relatif sederhana dan tidak memerlukan analisis keilmuan dan disiplin tindakan yang mendalam. Maka bagi mereka, tidak dapat dikenakan sanksi hukum yang setara dengan seoran Sosiawan yang memang mengambil pendidikan tinggi untuk menjadi seorang pakar dalam bidang pelayanan sosial dan tunduk pada ketentuan hukum yang mengatur praktik profesinya.  

51. Apakah Konsorsium Pekerjaan Sosial Indonesia itu?

Konsorsium Pekerjaan Sosial Indonesia (KPSI) yang berdiri pada 10 Agustus 2011, adalah forum komunikasi dan wadah kerjasama diantara pilar-pilar kesejahteraan sosial untuk mendorong pendayagunaan profesi pekerjaan sosial pada organisasi dari masing-masing pilar tersebut dan melaksanakan agenda bersama yang terkait dengan pengembangan praktik profesi Pekerjaan Sosial baik ditingkat nasional, regional maupun internasional. Lima belas pilar yang juga anggota resmi dari KPSI adalah  IPSPI (Ikatan Pekerja Sosial Profesional Indonesia), IPPSI (Ikatan Pendidikan Pekerjaan Sosial Indonesia), DNIKS (Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial), LSPS (Lembaga Sertifikasi Pekerjaan Sosial), BALKS (Badan Akreditasi Lembaga Kesejahteraan Sosial), IPENSOS (Ikatan Penyuluh Sosial), IPSM (Ikatan Pekerja Sosial Masyarakat), IRSI (Ikatan Relawan Sosial Indonesia), FORKOMKASI (Forum Komunikasi Mahasiswa Kesejahteraan Sosial Indonesia), JRPI (Jaringan Rehabilitasi Psikososial Indonesia), SWS (Social Work Sketch), APSAKI (Asosiasi Pekerja Sosial Anak dan Keluarga Indonesia), Himpunan Pekerja Mandiri, dan APSANI.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

(Diperoleh dari Ikatan Pekerja Sosial Profesional Indonesia, 2015)

 

Bassu, P. (1999). Decentralization for empowerment of rural poor. New Delhi: FAO.

Chamber,  R. (1993). Rural development putting the last first. London: Longman.

Cheemma  & Rondinelli (1993). Decentralization in development countries. Washington DC: World Bank.

Dominelli L., & McLeod Eileen (1989). Feminist social work. New York: Palgrave Macmillan.

Dubois, B & Milley, K. (1997). Social work  : an empowering profession. Boston: Allyn & Bacon

Edi Suharto (2006). Membangun masyarakat memberdayakan rakyat. Bandung: Refika Aditama

Edi Suharto (2002). Profiles and dynamics of the urban informal sector in Indonesia: a study of pedagang kakilima in Bandung. Thesis.  Massey University New Zealand.

Gutierrez, L, M. (1998). Empowerment in social work practice. a sourch book. USA : Brooks/Cole  Publishing Company.

Hepworth, H.D., & Larsen A. J. (1993). Direct social work practice : theory and skills. California:  Brooks/Cole Publishing Company.

Ife, J. (2001). Human rights and social work, towards rights based practice. England: Cambridge University

Ife, J. (2002). Community development : creating community alternative vision analysis and practice.  Australia: Longman

Mayo, M. (2004). Community empowerment : a reader in participation and development. London : Zed Books.

Pincus, A. and Minahan, A. (1973). Social work practice; model and method. F.E. Peacock Publishers, Inc.,Hasco. Illeanis.

Rappaport, J. (1997). Term of empowerment/exemplars of prevention : toward a theory for community psychology. American Journal of Community Psychology. 15(2), 121 148.

Siporin, M. (1975). Introduction to social work practice. New York: Macmillan Publishers.

The World Bank (2003). Sustainable development in dynamic world, Washington: WB

Tropman, John, E. (ed). (1995). Tactics and techniques of community Intervention. Third Edition. Ilinois

Zastrow, H. C. (1992). Introduction to social welfare institutions, social problems, services, and current issues. USA: The Dorsey Press.

Zastrow, H. C. (1999). The practice of social work. USA : Brooks/Cole Publishing Company.

Zastrow H. C. (2004). Introduction to social work and social welfare. USA: Thomson Books/Cole

 

(Diperoleh dari Ikatan Pekeja Sosial Profesional Indonesia, 2015)

 

Allhamdullilah puji  syukur senantiasa Tim Penyusun haturkan kehadirat Allah SWT atas segala berkah dan rakhmat-Nya sehingga dapat menyelesaikan laporan Kajian Kebutuhan Undang-Undang Praktik Pekerjaan Sosial. Ada beberapa kegiaatan yang sedang dan akan Tim Penyusun lakukan untuk penyempurnaan kajian ini, yaitu; pertama, Tim Penyusun masih sedang melakukan kajian teoritis dan empirik tentang situasi, kondisi dan permasalahan serta kebutuhan pekerja sosial terhadap Undang-Undang Praktik Pekerjaan Sosial. Kedua, Tim Penyusun akan melakukan kegiatan Workshop tentang substansi undang-undang dan kebutuhan Undang-Undang Praktik Pekerjaan Sosial. Dalam Workshop tersebut Tim Penyusun akan mengundang Narasumber dari Pakar Pekerjaan Sosial, Badan Legislasi DPR RI, Komisi VIII DPR RI, Praktisi Pekerjaan Sosial, dan dari Pusat Kajian Hukum Kementerian Sosial. Ketiga, Tim Penyusun akan melakukan Konferensi Nasional Pekerjaan Sosial yang akan dihadiri oleh Pekerja Sosial seluruh Indonesia dengan mengundang Narasumber dari berbagai pihak seperti Pakar Pekerjaan Sosial, Komisi VIII DPR RI, dan Badan Legislasi DPR RI.

Tim Penyusun menyadari bahwa laporan kajian kebutuhan UU Praktik Pekerjaan Sosial ini tidak akan teraksana dengan baik tanpa adanya dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini Tim Penyusun gunakan untuk menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

  1. Menteri Sosial Republik Indonesia.
  2. Bapak Sekretaris Jenderal Kementerian Sosial Republik Indonesia yang telah memberikan dukungan dan motivasi dalam pelaksanaan kajian
  3. Bapak Kepala Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial Kementerian Sosial RI atas dukungan, dorongan, fasilitasi dan perhatian yang telah diberikan dalam upaya merealisasikan kebutuhan Pekerja Sosial terhadap Undang-Undang Praktik Pekerjaan Sosial.
  4. Ibu Ketua STKS Bandung, yang telah memberikan arahan, dukungan serta semangat sehingga laporan kajian kebutuhan UU Praktik Pekerjaan Sosial ini dapat diselesaikan.
  5. Bapak dan Ibu Dosen STKS Bandung yang telah memberikan dukungan dan masukkan konsep dan teori untuk terealisasikannya kajian kebutuhan UU Praktik Pekerjaan Sosial ini.
  6. Bapak dan Ibu Pejabat Kementerian Sosial RI dan Pejabat Unit Pelaksana Teknis di STKS Bandung.
  7. Pekerja Sosial di seluruh Indonesia, dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas segala dukungannya.

Semoga bantuan dan dukungan serta kebaikan yang diberikan menjadi dasar bagi perjuangan kita semua untuk merealisasikan kebutuhan Pekerja Sosial terhadap Undang-Undang Praktik Pekerjaan Sosial.

Akhirnya dengan kerendahan hati, Tim Penyusun menyadari bahwa lapoiran kajian ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu masukkan dari berbagai pihak sangat diharapkan dalam penyempurnaan laporan kajian kebutuhan UU Praktik Pekerjaan Sosial ini. Semoga bakti dan perjuangan kita semua diridhoi oleh Allah SWT. Amiin.

                                                     Bandung, Mei 2013

                                                        TIM PENYUSUN

 

 


Bab VI: Penutup

 

 

(Diperoleh dari Ikatan Pekerja Sosial Profesional Indonesia, 2015)

 

  1. Kesimpulan
  2. Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 mengamanatkan bahwa negara mempunyai tanggung jawab untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ayat 1 pasal 34 Amandemen UUD 1945 mengemukakan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara. Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan sosial, Negara memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan (ayat 3 amandemen UUD 1945). Kondisi tersebut mempunyai konsekuensi terhadap penyediaan sarana dan prasarana serta sumber daya manusia yang dapat menangani dan meningkatkan keberdayaan masyarakat sehingga kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan.
  3. Profesi Pekerjaan Sosial sebagai salah satu komponen utama pemberi pelayanan kesejahteraan sosial kepada masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting karena terkait langsung dengan pemberian pelayanan kesejahteraan sosial dan mutu pelayanan yang diberikan. Pekerjaan sosial adalah aktivitas pertolongan profesional bagi individu, kelompok dan masyarakat  dalam rangka meningkatkan dan  memperbaiki kapasitas keberfungsian sosial  mereka dan menciptakan  kondisi sosial  yang memungkinkan untuk mencapai tujuan tersebut. Sebagai aktivitas profesional, pekerjaan sosial ditujukan untuk membantu individu, kelompok dan komunitas untuk meningkatkan atau memperbaiki kapasitinya untuk berfungsi sosial dan menciptakan kondisi masyarakat guna mencapai tujuan-tujuannya. Hal tersebut menunjukkan bahwa pekerjaan sosial adalah  suatu aktivitas profesional yang ditujukan untuk membantu individu-idividu, kelompok atau masyarkat guna meningkatkan dan memperbaiki keberfungsian sosial dan kemampuan mereka dan menciptakan suatu kondisi masyarakat yang memungkinkan mereka dalam mencapai tujuan. Hal ini selalu dimuat dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait. Namun pada sisi lain, belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Praktik pekerjaan sosial.
  4. Fokus utama praktik pekerjaan sosial adalah untuk membantu memperbaiki dan meningkatkan keberfungsian sosial baik individu, kelompok maupun masyarakat. Oleh karena itu, dalam melaksanakan tugasnya, pekerjaan sosial telah didasarkan pada pengetahuan ilmiah dan keterampilan dalam menjalin relasi antara manusia sehingga dapat membantu individu, kelompok dan masyarakat dalam mencapai kepuasan pribadi, kepuasaan sosial dan kebebasan. Sebagai aktivitas profesional, praktik pekerjaan sosial mempunyai metode, nilai, etika dan teknologi pekerjaan sosial sehingga dalam melaksanakan aktivitas pertolongan profesionalnya (praktik pekerjaan sosial)  dapat dipertanggung jawabkan.
  5. Saat ini di Indonesia diperkirakan terdapat lebih dari 36.000 pekerja sosial professional lulusan dari 35 Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan pendidikan Pekerjaan Sosial/Kesejahteraan Sosial. Mereka bekerja di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Nasional maupun Internasional yang bekerja di Indonesia. Sebagian besar lagi bekerja di Instansi Pemerintah dan lembaga pelayanan kesejahteraan sosial baik milik pemerintah maupun masyarakat (swasta). Pada sisi lain, belum ada perundang-undangan yang mengatur dan menetapkan standar pelayanan kesejahteraan sosial, registrasi, akreditasi, dan sertifikasi pelayanan kesejahteraan sosial atau praktik pekerjaan sosial.
  6. Dalam perkembangan pekerjaan sosial di Indonesia, terdapat pekerja sosial asing yang melakukan Praktik pekerjaan sosial. Kondisi ini belum diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait. Oleh karena itu sebagai upaya untuk melengkapi muatan peraturan perundang-undangan yang terkait, diperlukan peraturan perundang-undangan tentang Praktik pekerjaan sosial di Indonesia yang didalamnya mengatur Praktik pekerjaan sosial yang dilakukan oleh pekerja sosial asing.
  7. Berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait telah menyebutkan berbagai peranan dan fungsi pekerjaan sosial dalam penanganan masalah kesejahteraan sosial di Indonesia, namun pada sisi lain belum ada peraturan perundang-undangan yang menetapkan dan mengatur praktik pekerjaan sosial.

 

  1. Rekomendasi

Berdasarkan hasil kajian yang telah diuraikan dalam naskah akademik ini, maka direkomendasikan bahwa Negara melalui Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan Pemerintah perlu mengatur dan menetapkan standar praktik pekerjaan sosial dalam suatu undang-undang atau Undang-Undang Praktik Pekerjaan Sosial. Undang-Undang tentang praktik pekerjaan sosial tersebut sangat diperlukan sebagai pedoman formal (legalitas) bagi pekerja sosial dalam melaksanakan praktiknya di Indonesia sehingga praktik pekerjaan sosial dapat menunjang keberhasilan program pembangunan kesejahteraan sosial di Indonesia.

Peraturan perundang-undangan tentang praktik pekerjaan Sosial di Indonesia diperlukan sebagai upaya untuk meningkatkan kinerja dan standar pelayanan pekerjaan sosial dalam menangani permasalahan sosial di Indonesia. Dengan adanya undang-undang yang mengatur tentang praktik pekerjaan sosial, aktivitas praktik pekerjaan sosial di Indonesia dapat menunjang keberhasilan program pembangunanan kesejahteraan sosial di Indonesia sebagaimana yang dimanatkan pada pembukaan UUD 1945.

Pada dasarnya ada beberapa alasan perlunya Negara melalui DPR RI dan Pemerintah mengatur dan menetapkan tentang praktik pekerjaan sosial di Indonesia melalui sebuah undang-undang, yaitu sebagai berikut:

  1. Sebagai upaya dalam meningkatkan sumber daya manusia yang mempunyai kompetensi dalam meningkatkan keberdayaan dan membantu memecahkan masalah yang dihadapi individu, keluarga, kelompok dan masyarakat penyandang masalah di Indonesia.
  2. Belum adanya standar pelayanan, registrasi, akreditasi, dan sertifikasi penyelenggaraan kesejahteraan sosial sebagai pedoman hukum pekerja sosial dalam mempraktikan pekerjaan sosial di Indonesia.
  3. Banyaknya pekerja sosial asing yang menjalankan praktik pekerjaan sosial di Indonesia. Hal tersebut perlu diatur dalam bentuk peraturan perundang-undangan.
  4. Perlu adanya ketentuan undang-undang yang mengatur standar praktik, hak dan kewajiban serta komptensi dari pekerja sosial sehingga tujuan pembangunan kesejahteraan sosial dapat dicapai dengan maksimal.
  5. Perlu upaya untuk meminimalisir kesalahan praktik pekerjaan sosial (malpraktik) di Indonesia sehingga permasalahan sosial di Indonesia dapat ditangani dengan baik dan tuntas.
  6. Sebagai sebuah profesi, pekerja sosial perlu ditetapkan standar praktik dalam bentuk undang-undang sehingga jika melakukan kesalahan dalam melaksanakan praktiknya (malpraktik) dapat diberi sanksi sesuai dengan ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku.

 

(Diperoleh dari Ikatan Pekerja Sosial Profesional Indonesia, 2015)

 

Pembangunan kesejahteraan sosial merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan standar kehidupan masyarakat secara adil dan merata, baik materiil maupun spirituil. Pembangunan kesejahteraan sosial merupakan perwujudan dari upaya mencapai tujuan bangsa yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sila kelima Pancasila menyatakan bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Pelaksanaan dan keberhasilan pembangunan selama ini selain menimbulkan peningkatan pada kualitas dan standar hidup masyarakat, ternyata juga membawa dampak yang tidak diharapkan. Dampak dari proses perubahan sosial ini berwujud pada semakin meningkatnya permasalahan bidang kesejahteraan sosial, baik secara kualitas maupun kuantitas.

Permasalahan kesejahteraan sosial tersebut tentunya perlu diantisipasi melalui proses pertolongan profesional yang terencana, terpadu, berkualitas dan berkesinambungan yang diarahkan untuk memulihkan keberfungsian sosial para penyandang masalah kesejahteraan sosial, agar dapat berperan aktif dalam masyarakat, dan pada gilirannya akan mampu meningkatkan taraf kesejahteraan sosial mereka.

 

Pekerjaan sosial sebagai salah satu komponen utama pemberi pelayanan kesejahteraan sosial kepada masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting karena terkait langsung dengan pemberian pelayanan kesejahteraan sosial dan mutu pelayanan yang diberikan. Pekerjaan sosial adalah aktivitas pertolongan profesional yang ditujukan bagi individu, kelompok, keluarga, komunitas, dan masyarakat  dalam rangka meningkatkan dan  memperbaiki kapasitas keberfungsian sosial  mereka dan menciptakan  kondisi sosial  yang memungkinkan untuk mencapai tujuan tersebut.

Dalam prakteknya, pekerjaan sosial melakukan pelayanan kesejahteraan sosial. Pelayanan kesejahteraan sosial adalah  pelayanan yang dilakukan oleh pekerja sosial untuk terpenuhinya kondisi kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.

Sebagai aktiviti profesional, untuk dapat melakukan tindakan pelayanan kesejahteraam sosial terhadap penyandang masalah kesejahteraan sosial, pekerjaan sosial berlandaskan pada ilmu pengetahuan, teknologi pekerjaan sosial, dan kompetensi yang dimiliki, yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan. Pengetahuan yang dimiliki pekerja sosial  harus terus menerus dipertahankan dan ditingkatkan sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pekerjaan sosial itu sendiri.

Penyelenggaraan praktik pekerjaan sosial yang merupakan inti dari berbagai penyelenggaraan pelayanan kesejahteraan sosial harus dilakukan oleh pekerja sosial yang memiliki etik dan moral yang tinggi, keahlian dan kewenangan yang secara terus menerus harus ditingkatkan mutunya melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan, sertifikasi, registrasi, lisensi, serta pembinaan, pengawasan dan pemantauan agar penyelenggaraan praktik pekerjaan sosial sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pekerjaan sosial.

Banyaknya pekerja sosial lokal dan pekerja sosial asing yang melakukan praktik pekerjaan sosial di Indonesia, membutuhkan peraturan dalam bentuk undang-undang yang mengatur standar pratik, registrasi, akreditasi, dan sertifikasi praktik pekerjaan sosial di Indonesia. Untuk itu, untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada penerima pelayanan kesejahteraan sosial dan pekerja sosial diperlukan pengaturan mengenai penyelenggaraan praktik pekerjaan sosial. Undang-Undang tentang Praktik Pekerjaan Sosial. Undang-undang tersebut sangat diperlukan sebagai legal substance dalam melakukan aktivitas praktik pekerjaan sosial di Indonesia.

Berdasarkan hal tersebut di atas, sasaran yang akan diwujudkan dari adanya Undang-Undang Praktik Pekerjaan Sosial meliputi; pertama, mewujudkan kehidupan yang layak dan bermartabat, serta untuk memenuhi hak atas kebutuhan dasar penyandang masalah kesejahteraan sosial demi tercapainya kesejahteraan dan keberfungsian sosial penyandang masalah kesejahteraan sosial. Kedua, memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada penerima pelayanan pekerjaan sosial, dan pekerja sosial dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial di Indonesia.

Arah dan jangkauan pengaturan yang diperlukan dalam Undang-undang Praktik Pekerjaan sosial meliputi; (1) aturan yang mengatur ketentuan umum, asas, tujuan; (2) aturan yang mengatur sistem praktik pekerjaan sosial  yang didalamnya mengatur kualifikasi Pekerja Sosial, bidang praktik pekerjaan sosial, jenjang praktik pekerjaan sosial, standar praktik pekerjaan sosial, hak dan kewajiban praktik pekerjaan sosial, dan supervisi praktik pekerjaan sosial); (3) aturan yang mengatur standar pendidikan profesi pekerjaan sosial, jenjang dan jenis pendidikan dan pelatihan pekerjaan sosial, serta standar kompetensi pekerjaan sosial; (4)   aturan yang mengatur tentang penyelenggaraan praktik pekerjaan sosial yang didalamnya memuat aturan tentang registrasi, sertifikasi, lisensi dan standar pelayanan pekerjaan sosial; (5) aturan yang mengatur pembinaan dan pengawasan yang didalamnya memuat tentang konsil kode etik, ketentuan pidana; (6) aturan yang mengatur kelembagaan organisasi profesi yang memuat aturan tentang asosiasi profesi dan asosiasi pendidikan profesi; (7) aturan yang memuat tanggung jawab negara dalam pelaksanaan praktik pekerjaan sosial.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka ruang lingkup materi yang diperlukan dalam undang-undang praktik pekerjaan sosial dapat diuraikan dibawah ini.

  1. Ketentuan Umum

Tujuan praktik pekerjaan sosial adalah meningkatkan kesejahteraan sosial penyandang masalah kesejahteraan sosial. Kesejahteraan Sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, mental, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.

Sasaran pelayanan praktik pekerjaan sosial adalah penyandang masalah kesejahteraan sosial. Penyandang masalah kesejahteraan sosial adalah individu, kelompok, keluarga, komunitas, dan masyarakat yang oleh karena kemiskinan, kelemahan, gangguan fizik dan kejiwaan, keterasingan, kerentanan dan kerapuhan, serta ketidakberdayaan sehingga mereka; (1)  tidak mampunyai kemampuan dalam  memenuhi kebutuhan konsumsi dasar seperti sandang, papan, pangan; (2) tidak dapat memenuhi akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya, seperti;  air bersih, kesehatan dasar dan pendidikan dasar, serta transportasi; (3) tidak mampu menampilkan peranan sosial, seperti mampu dalam melaksanakan tanggung jawab mencari nafkah, sebagai orang tua, dan sebagai warga masyarakat dalam suatu ligkungan komunitas dan masyarakat; (4) tidak adanya jaminan masa depan karena ttidak adanya investasi untuk pendidikan dan keluarga; (5) tidak mampu mengatasi masalah-masalah sosial dan goncangan yang bersifat individual maupun massal.

Dalam melaksanakan praktik pekerjaan sosial, pekerjaan sosial merupakan inti dari berbagai penyelenggaraan pelayanan kesejahteraan sosial yang harus dilakukan oleh pekerja sosial. Pekerjaan sosial adalah aktivitas profesional yang dilandasi oleh ilmu pengetahuan, nilai, etik dan keterampilan yang bertujuan membantu individu, kelompok, keluarga, komunitas dan masyarakat untuk memperkuat kemampuannya sendiri sehingga dapat meningkatkan keberfungsian sosialnya serta menciptakan kondisi-kondisi kemasyarakatan yang menunjang tujuan tersebut. Definisi tersebut menunjukkan bahwa pekerjaan sosial merupakan suatu aktivitas profesional.  Sebagai aktivitas profesional, maka pelayanan yang diberikan oleh seorang pekerja sosial dapat didefinisikan secara tegas melalui landasan pengetahuan, nilai-nilai, serta ketrampilannya secara spesifik. Definisi tersebut juga menunjukkan bahwa pekerja sosial melakukan praktik pertolongannya pada berbagai tipe klien, baik individu, kelompok, keluarga, komunitas dan masyarakat.  Definisi di atas juga menekankan bahwa fokus perhatian pekerja sosial adalah keberfungsian sosial yang meliputi interaksi antara manusia dengan lingkungan sosialnya. Berdasarkan hal tersebut, maka yang dimaksud profesi pekerjaan sosial adalah suatu aktivitas profesional  pekerjaan sosial yang dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan, dan kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan yang berjenjang, dan kode etik yang bersifat melayani individu, kelompok, keluarga, komunitas dan masyarakat yang mempunyai masalah kesejahteraan sosial masyarakat.

Berdasarkan hal tersebut, keberfungsian sosial adalah suatu keadaan dimana  individu, kelompok, keluarga, komunitas dan masyarakat dapat melakukan aktivitas hidupnya yang ditandai dengan; (1) terpenuhinya kebutuhan dasar seperti; makanan, pakaian dan perumahan; (2) terpenuhinya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya, seperti;  air bersih, kesehatan dasar dan pendidikan dasar, serta transportasi; (3) mampu menampilkan tugas dan peranan sosial dalam kehidupannya sesuai dengan usianya, status, serta tanggung jawab yang disandangnya sebagai warga masyarakat dalam suatu ligkungan komunitas dan masyarakat; (4) adanya jaminan masa depan karena adanya investasi untuk pendidikan dalam keluarga; (5) mampu mengatasi masalah-masalah sosial dan goncangan yang bersifat individual maupun massal. Dengan demikian, keberfungsian sosial merupakan hasil sistemik dari sebuah pertukaran yang saling mengisi antara kebutuhan, sumber daya yang tersedia, harapan/motivasi dengan kemampuan seseorang untuk memenuhinya, antara tuntutan, harapan, serta kesempatan dengan kemampuan lingkungan untuk memenuhinya.

Praktik pekerjaan sosial dilakukan oleh pekerja sosial. Pekerja sosial adalah seseorang lulusan pendidikan pekerjaan sosial dan atau kesejahteraan sosial baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dalam menjalankan praktiknya, pekerja sosial harus mempunyai sertifikat kompetensi. Sertifikat kompetensi adalah surat tanda pengakuan terhadap kemampuan seorang pekerja sosial untuk menjalankan praktik pekerjaan sosial di seluruh Indonesia setelah lulus uji kompetensi. Sertifikat kompetensi dikeluarkan oleh Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia. Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia adalah suatu badan otonom, mandiri, nonstruktural, dan bersifat independen.

Dalam pelaksanaanya, pekerja sosial yang akan melaksanakan praktik pekerjaa sosial di Indonesia harus melakukan mendaftar dan melakukan registrasi kepada Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia. Registrasi adalah pencatatan resmi terhadap pekerja sosial yang telah memiliki sertifikat kompetensi dan telah mempunyai kualifikasi tertentu lainnya serta diakui secara hukum untuk melakukan tindakan profesinya. Pada durasi masa tertentu, pekerja sosial harus melakukan registrasi ulang ke Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia. Registrasi ulang adalah pencatatan ulang terhadap pekerja sosial yang telah diregistrasi setelah memenuhi persyaratan yang berlaku. Setelah melakukan registrasi ke Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia, pekerja sosial mendapatkan surat tanda registrasi pekerja sosial. Surat tanda registrasi pekerjaan sosial adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia kepada pekerja sosial yang telah diregistrasi.

Dalam melaksanakan praktik pekerjaan sosial, pekerja sosial lokal maupun asing yang akan melakukan praktik di Indonesia harus memiliki Surat izin praktik. Surat izin praktik adalah bukti tertulis yang diberikan pemerintah kepada pekerja sosial yang akan menjalankan praktik pekerjaan sosial setelah memenuhi persyaratan. Dalam mengajukan registrasi ke Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia, pekerja sosial harus mendapatkan rekomendasi dari organisasi profesi. Organisasi profesi adalah Ikatan Pekerja Sosial Indonesia. Jika pekerja sosial dalam menjalankan praktiknya terdapat indikasi melakukan kesalahan (malpraktik), maka pihak yang berwenang untuk menetapkan ada tidaknya kesalahan dan menetapkan sanksi adalah Majelis Kehormatan Disiplin Pekerjaan Sosial Indonesia. Oleh karena itu, Majelis Kehormatan Disiplin Pekerjaan Sosial adalah lembaga yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan pekerja sosial dalam penerapan disiplin ilmu pekerjaan sosial, dan menetapkan sanksi.

Dalam melaksanakan praktiknya, pekerja sosial dapat melakukan praktik secara individu maupun di Lembaga Kesejahteraan Sosial. Lembaga Kesejahteraan Sosial adalah organisasi sosial atau perkumpulan sosial yang melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum. Dalam melaksanakan praktiknya baik secara individu maupun di Lembaga Kesejahteraan Sosial, pekerja sosial melakukan aktivitas rehabilitasi sosial dan pemberdayaan sosial. Rehabilitasi Sosial adalah proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan penyandang masalah kesejahteraan sosial mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan pemberdayaan sosial adalah semua upaya yang diarahkan untuk menjadikan penyandang masalah kesejahteraan sosial mempunyai daya, sehingga mampu memcahkan masalah yang dihadapinya secara mandiri.

  1. Materi yang akan Diatur

Prinsip, Asas dan Tujuan Praktik Pekerjaan Sosial

Prinsip praktik pekerjaan sosial merupakan seperangkat nilai-nilai profesi pekerjaan sosial yang dijadikan acuan dalam penanganan masalah kesejahteraan sosial. Prinsip praktik pekerjaan sosial tersebut meliputi; pertama, menghargai harkat dan martabat setiap orang (human dignity).  Setiap orang memiliki harkat dan martabat yang melekat dalam dirinya tanpa membedakan suku, ras, agama dan lainnya. Kedua, hak menentukan diri sendiri (self determination). Dalam praktik pekerjaan sosial, penyandang masalah kesejahteraan sosial mempuyai hak menentukan sendiri alternatif pemecahan masalah yang dialami. Ketiga, memiliki kesempatan yang sama (opportunity). Prinsip ini menekankan bahawa setiap penyandang masalah kesejahteraan sosial memiliki kesempatan yang sama dalam menerima pertolongan dan pelayanan kesejahteraan sosial dari pekerja sosial. Keempat, memiliki tanggung jawab sosial (social responsibility). Tanggungjawab melekat dalam diri setiap pekerja sosial sehingga dalam melaksanakan praktiknya, pekerja sosial bertanggung jawab terhadap diri sendiri, profesi, penyandang masalah kesejahteraan sosial, dan masyarakat.

Praktik pekerjaan sosial berasaskan pada nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan didasarkan pada asas; penerimaan, individualisasi, tidak menghakimi, empati, kesetiakwanan, kerahasiaan, keutuhan, rasionalitas, keadilan, profesionalitas, kemanfaatan, keterpaduan, partisipasi, akuntabilitas, kemitraan, keterbukaan, dan keberlanjutan.

 

Asas penerimaan adalah bahwa praktik pekerjaan sosial didasarkan kepada penerimaan penyandang masalah kesejahteraan sosial apa adanya tanpa membeda-bedakan status, suku, ras dan agama serta kondisi fisik dan kejiwaan penyandang masalah kesejahteraan sosial.

Asas individualisasi adalah bahawa penyandang masalah kesejahteraan sosial merupakan peribadi yang unik yang berbeda antara penyandang masalah yang satu dengan yang lainnya sehingga praktik pekerjaan sosial harus didasarkan pada mengharagi setiap perbedaan yang dimiliki oleh penyandang masalah kesejahteraan sosial tersebut baik masalah, kemampuan, dan potensi yang dimiliki penyandang masalah kesejahteraan sosial.

Asas tidak menghakimi adalah bahwa  dalam praktik pekerjaan sosial didasarkan pada tidak membawa pemikiran terlebih dahulu terhadap situasi dan kondisi serta permasalahan yang dihadapi penyandang masalah kesejahteraan sosial.

Asas empati adalah bahwa dalam praktik pekerjaan sosial didasarkan pada pemahaman terhadap keberadaan penyandang masalah kesejahteraan sosial tanpa terlibat secara emosional.

Asas kesetiakawanan adalah bahwa dalam praktik pekerjaan sosial harus dilandasi oleh kepedulian sosial untuk membantu orang yang membutuhkan pertolongan dengan empati dan kasih sayang (Tat Twam Asi).

Asas kerahasiaan adalah bahwa dalam praktik pekerjaan sosial harus menjaga kerahasiaan setiap informasi yang diampaikan penyandang masalah kesejahteraan sosial.

Asas keutuhan adalah bahwa dalam menjalankan praktik pekerjaan sosial dilandasi adanya ketulusan dan keiklasan serta tidak merendahkan status penyandang masalah kesejahteraan sosial.

Asas rasionalitas adalah bahwa dalam praktik pekerjaan sosial harus memberikan pandangan yang obyektif terhadap alternatif kemungkinan yang akan terjadi dalam pengambilan keputusan sehingga dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

Asas keadilan adalah bahwa dalam praktik pekerjaan sosial harus menekankan pada aspek pemerataan, tidak diskriminatif dan keseimbangan antara hak dan kewajiban.

Asas profesionalitas adalah bahwa dalam praktik pekerjaan sosial harus berdasarkan kepada ilmu pengetahuan, nilai dan etika pekerjaan sosial.

Asas kemanfaatan adalah bahwa dalam praktik pekerjaan sosial harus memberi manfaat bagi peningkatan kualitas hidup dan pemecahan masalah yang dihadapi penyandang masalah kesejahteraan sosial.

Asas keterpaduan adalah bahwa dalam praktik pekerjaan sosial harus mengintegrasikan berbagai komponen dan sumber daya yang terkait sehingga dapat berjalan secara terkoordinir dan sinergis.

Asas kemitraan adalah bahwa dalam praktik pekerjaan sosial diperlukan kemitraan dengan berbagai profesi dan sistem sumber kemasyarakatan yang tersedia dalam penanganan penyandang masalah kesejahteraan sosial.

Asas keterbukaan adalah bahwa dalam praktik pekerjaan sosial harus memberikan akses yang seluas-luasnya kepada penyandang masalah kesejahteraan sosial untuk mendapatkan informasi yang terkait dengan masalah kesejahteraan sosial yang dihdapainya.

Asas partisipasi adalah bahwa dalam praktik pekerjaan sosial harus melibatkan berbagai komponen dan sumber daya yang ada dalam masyarakat.

Asas akuntabilitas adalah bahwa dalam praktik pekerjaan sosial harus dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan.

Asas keberlanjutan adalah bahwa dalam praktik pekerjaan sosial dilaksanakan secara berkesinambungan, sehingga tercapai kemandirian dari penyandang masalah kesejahteraan sosial.

Pengaturan praktik pekerjaan sosial bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada penyandang masalah kesejahteraan sosial, mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan kesejahteraan yang diberikan pekerja sosial, dan memberikan kepastian hukum kepada penyandang masalah kesejahteraan sosial dan pekerja sosial.

Berdasarkan hal tersebut maka tujuan praktik pekerjaan sosial adalah; (1) meningkatkan taraf kesejahteraan, kualitas, dan kelangsungan hidup penyandang masalah kesejahteraan sosial; (2) memulihkan fungsi sosial dalam rangka mencapai kemandirian dari penyandang masalah kesejahteraan sosial; (3) meningkatkan ketahanan sosial masyarakat dalam mencegah dan menangani masalah kesejahteraan sosial; (4) meningkatkan kualitas manajemen penyelenggaraan kesejahteraan sosial; (5) meningkatkan kemampuan dan kepedulian masyarakat dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara melembaga dan berkelanjutan; dan (6) meningkatkan kemampuan, kepedulian dan tanggungjawab sosial dunia usaha dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara melembaga dan berkelanjutan.

Sistem Praktik Pekerjaan Sosial

Pekerjaan sosial melakukan praktik pertolongannya secara langsung (direct services), yaitu meningkatkan serta memperbaiki kemampuan penyandang masalah kesejahteraan sosial dalam mencapai keberfungsian sosial, serta secara tidak langsung (indirect services) yang berupaya untuk mengubah, memperbaiki, serta membangun kondisi kemasyarakatan yang berkaitan erat dengan keberfungsian sosial penyandang masalah kesejahteraan sosial.

Kompetensi awal yang harus dimiliki pekerja sosial dalam melaksanakan praktik pekerjaan sosial meliputi;

  1. Mengidentifikasi dan melakukan assessment terhadap situasi dan masalah yang dihadapi penyandang masalah kesejahteraan sosial.
  2. Mengembangkan serta mengimplementasikan suatu rencana pemecahan masalah yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan penyandang masalah kesejahteraan sosial yang berlandaskan pada assessment masalah, eksplorasi tujuan, serta pengembangan alternatif pemecahan.
  3. Mengembangkan atau memperbaiki kemampuan penyandang masalah kesejahteraan sosial dalam menghadapi, memecahkan masalah, serta kemampuan pengembangan diri penyandang masalah kesejahteraan sosial.
  4. Menghubungkan penyandang masalah kesejahteraan sosial dengan sistem yang dapat memberikan sumber pelayanan, maupun kesempatan.
  5. Memberikan intervensi secara efektif dengan mengutamakan populasi sasaran yang paling rentan, atau terkena diskriminasi.
  6. Mengembangkan efektifivas pelayanan serta meningkatkan kemanusiawian kinerja sistem yang memberikan pelayanan, sumber, maupun kesempatan.
  7. Secara aktif berperan serta dengan pihak lain untuk menciptakan, memodifikasi, serta meningkatkan sistem pelayanan yang ada agar lebih responsif terhadap kebutuhan penyandang masalah kesejahteraan sosial.
  8. Melakukan evaluasi sampai seberapa jauh tujuan yang telah direncanakan dapat tercapai.
  9. Secara terus menerus melakukan evaluasi atas pengembangan profesionalisme melalui assessment atas perilaku maupun ketrampilan praktiknya.
  10. Memberikan kontribusi pada peningkatan mutu pelayanan dengan cara mengembangkan landasan pengetahuan profesionalnya serta menjunjung tinggi standar atau etika profesi.

Praktik pekerjaan sosial ditujukan kepada perseorangan, kelompok, keluarga, komunitas, dan masyarakat penyandang masalah kesejahteraan sosial. Pelaksanaan praktik pekerjaan sosial seperti dimaksud di atas ditujukan kepada; (1) anak yang mengalami masalah kesejahteraan sosial, yang meliputi; anak balita terlantar, anak terlantar, anak nakal, anak jalanan,  anak yang berkonflik dengan hukum, anak korban bencana alam dan sosial, serta anak yang mengalami perlakuan salah; (2) keluarga penyandang masalah kesejahteraan sosial yang meliputi; keluarga fakir miskin, keluarga berumah tidak layak huni; keluarga bermasalah sosial psikologis, keluarga rentan; keluarga yang menggelandang dan mengemis; serta keluarga pekerja migran bermasalah; (3)  korban bencana alam dan sosial; (4) masalah gender dan wanita penyandang masalah kesejahteraan sosial, yang meliputi; wanita tuna susila, wanita korban kekerasan dalam rumah tangga, dan wanita rawan sosial ekonomi; (5) komunitas adat terpencil; (6) penyandang cacat; (7) lanjut usia terlantar; (8)  korban penyalahgunaan NAPZA; (9) Orang dengan HIV/AIDS; (10) masalah sosial yang dihadapi klien di rumah sakit.; dan (11) masalah kesejahteraan sosial yang dihadapi masyarakat.

Berdasarkan sasaran praktik pekerjaan sosial di atas, kualifikasi pekerjaan sosial terdiri dari; (1) pekerjaan sosial anak; (2) pekerjaan sosial  keluarga dan kemiskinan keluarga; (3) pekerjaan sosial dengan bencana; (4) pekerjaan sosial gender dan wanita; (5)  pekerjaan sosial komunitas adat terpencil; (6) pekerjaan sosial penyandang cacat; (7) pekerjaan sosial lanjut usia; (8) pekerjaan sosial korban penyalahgunaan Napza; (9) pekerjaan sosial HIV/AIDS; (10) pekerja sosial medis; (11) pekerjaan sosial masyarakat.

Berdasarkan kualifikasi pekerjaan sosial di atas, maka bidang praktik pekerjaan sosial meliputi;

  1. Pekerjaan sosial anak merupakan pekerjaan sosial mempunyai pekerjaan dalam menangani permasalahan yang dihadapi anak, yang meliputi; penanganan masalah anak balita terlantar, anak terlantar, anak nakal, anak jalanan, anak yang berkonflik dengan hukum, anak korban bencana alam dan sosial, serta anak yang mengalami perlakuan salah seperti eksploitasi dan kekerasan terhadap anak.
  2. Pekerjaan sosial keluarga dan kemiskinan keluarga merupakan pekerjaan sosial yang mempunyai pekerjaan dalam menangani permasalahan yang dihadapi keluarga dan kemiskinan keluarga yang meliputi; keluarga fakir miskin, keluarga berumah tidak layak huni; keluarga bermasalah sosial psikologis, keluarga rentan; keluarga yang menggelandang dan mengemis; serta keluarga pekerja migran bermasalah.
  3. Pekerjaan sosial dengan bencana merupakan pekerjaan sosial yang mempunyai pekerjaan dalam penanganan kebencanaan baik bencana alam maupun bencana sosial.
  4. Pekerjaan sosial gender dan wanita merupakan pekerjaan sosial yang mempunyai pekerjaan dalam penananganan masalah gender dan wanita penyandang masalah kesejahteraan sosial, yang meliputi; wanita tuna susila, wanita korban kekerasan dalam rumah tangga, dan wanita rawan sosial ekonomi.
  5. Pekerjaan sosial komunitas adat terpencil merupakan pekerjaan sosial yang mempunyai pekerjaan dalam penanganan masalah kesejahteraan sosial yang dihadapi komunitas adat terpencil dan kemiskinannya.
  6. Pekerjaan sosial penyandang cacat merupakan pekerjaan sosial yang mempunyai pekerjaan dalam penanganan masalah keberfungsian sosial yang dihadapi penyandang cacat, yang meliputi; penyandang cacat fisik dan mental.
  7. Pekerjaan sosial lanjut usia merupakan pekerjaan sosial yang mempunyai pekerjaan dalam penanganan masalah yang dihadapi lanjut usia dan lanjut usia terlantar.
  8. Pekerjaan sosial korban penyalahgunaan NAPZA merupakan pekerjaan sosial yang mempunyai pekerjaan dalam penanganan masalah rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan Napza.
  9. Pekerjaan sosial HIV/AIDS adalah pekerjaan sosial yang mempunyai pekerjaan dalam menangani masalah psikososial orang dengan HIV/AIDS.
  10. Pekerjaan sosial medis adalah pekerjaan sosial yang mempunyai pekerjaan dalam penanganan masalah sosial klien di rumah sakit.
  11. Pekerjaan sosial masyarakat adalah pekerjaan sosial yang mempunyai pekerjaan dalam penanganan masalah kesejahteraan sosial yang dihadapi masyarakat, yang meliputi kemiskinan, diskrimanasi, dan konflik sosial.

Praktik pekerjaan sosial dilaksanakan di dalam lembaga kesejahteraan sosial maupun di luar lembaga kesejahteraan sosial. Praktik pekerjaan sosial di dalam lembaga kesejahteraan sosial merupakan aktivitas praktik pekerjaan sosial yang diselenggarakan di dalam lembaga kesejahteraan sosial. Praktik pekerjaan sosial di luar lembaga kesejahteraan sosial merupakan aktivitas praktik pekerjaan sosial yang dilakukan di masyarakat.

Lembaga kesejahteraan sosial merupakan organisasi sosial atau perkumpulan sosial yang melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum. Setiap lembaga kesejahteraan sosial harus melaksanakan praktik pekerjaan sosial. Pelaksana praktik pekerjaan sosial di lembaga kesejahteraan sosial seperti dimaksud tersebut adalah pekerja sosial. Oleh karena itu pada setiap lembaga kesejahteraan sosial minimal harus ada dua orang pekerja sosial.

Sarana dan prasarana yang digunakan dalam praktik pekerjaan sosial  meliputi; (1)  panti sosial; (2) pusat rehabilitasi sosial; (2) pusat pendidikan dan pelatihan; (3) pusat kesejahteraan sosial; (4) rumah singgah; (5) rumah perlindungan sosial. Dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial, sarana dan prasarana tersebut harus memiliki pekerja sosial.

Penyelenggaraan praktik pekerjaan sosial meliput; (1) rehabilitasi sosial; (2) pemberdayaan sosial; (3) pengembangan sosial; dan (4) perlindungan sosial.

Rehabilitasi sosial merupakan intervensi pekerjaan sosial yang ditujukan untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan penyandang masalah kesejahteraan sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar. Rehabilitasi sosial dapat dilaksanakan secara persuasif, motivatif, koersif, baik secara perseorangan, kelompok, keluarga, komunitas, masyarakat maupun panti sosial. Rehabilitasi sosial dapat diberikan dalam bentuk: (1) motivasi dan diagnosis psikososial; (2) perawatan dan pengasuhan; (3)  pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan; (4) bimbingan mental spiritual; (5) bimbingan fisik; (6) bimbingan sosial dan konseling psikososial; (7) pelayanan aksesibilitas; (8) bantuan dan asistensi sosial; (9) bimbingan resosialisasi; (10)  bimbingan lanjut; dan/atau (11)  rujukan.

Pemberdayaan sosial merupakan intervensi pekerjaan sosial yang ditujukan untuk memberdayakan seseorang, kelompok, keluarga, komunitas, dan masyarakat yang mengalami masalah kesejahteraan sosial agar mampu memenuhi kebutuhannya secara mandiri. Dalam pemberdayaan sosial dilakukan kegiatan pekerjaan sosial  untuk meningkatkan peran serta lembaga dan/atau perseorangan sebagai potensi dan sumber daya dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Pemberdayaan sosial dilakukan melalui; peningkatan kemauan dan kemampuan; penggalian potensi dan sumber daya; penggalian nilai-nilai dasar; dan pemberian akses; dan/atau pemberian bantuan usaha.  Pemberdayaan sosial dalam praktik pekerjaan sosial dilakukan dalam bentuk; (1) diagnosis dan pemberian motivasi; (2) pelatihan keterampilan; (3) pendampingan; (4)  pemberian stimulan modal, peralatan usaha, dan tempat usaha; (5) peningkatan akses pemasaran hasil usaha; (6) supervisi dan advokasi sosial; (7) penguatan keserasian sosial; (8) penataan lingkungan; dan/atau (9)  bimbingan lanjut.

Pengembangan masayarakat merupakan intervensi pekerjaan sosial yang ditujukan untuk meningkatkan kehidupan seluruh komunitas dan masyarakat dengan partisipasi aktif dan atas prakarsa komunitas dan masyarakat.

Perlindungan sosial merupakan intervensi pekerjaan sosial yang ditujukan untuk mencegah dan menangani risiko dari guncangan dan kerentanan sosial seseorang, keluarga, kelompok,  komuniti, dan/atau masyarakat agar kelangsungan hidupnya dapat dipenuhi sesuai dengan kebutuhan dasar minimal. Perlindungan sosial dapat  dilaksanakan melalui pemberian bantuan sosial, advokasi sosial; dan/atau bantuan hukum.

Bantuan sosial dimaksudkan agar seseorang, keluarga, kelompok, komunitas, dan/atau masyarakat yang mengalami guncangan dan kerentanan sosial dapat tetap hidup secara wajar. Bantuan sosial dapat bersifat sementara dan/atau berkelanjutan dalam bentuk pemberian bantuan langsung, penyediaan aksesibilitas,  dan/atau  penguatan kelembagaan.

Advokasi sosial dimaksudkan untuk melindungi dan membela seseorang, keluarga, kelompok, komunitas, dan/atau masyarakat yang dilanggar haknya. Advokasi sosial dapat diberikan dalam bentuk penyadaran hak dan kewajiban, pembelaan, dan pemenuhan hak.

Bantuan hukum diselenggarakan untuk mewakili kepentingan seseorang, keluarga, kelompok, komunitas, dan/atau masyarakat yang menghadapi masalah hukum dalam pembelaan atas hak, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Bantuan hukum dapat diberikan dalam bentuk pembelaan dan konsultasi hukum. Dalam praktiknya, pekerjaan sosial merujuk kepada penasihat hukum.

Pekerja sosial dalam melaksanakan praktik pekerjaan sosial mempunyai hak; (1) untuk memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional; (2)  memberikan pelayanan kesejahteraan sosial menurut standar profesi dan standar prosedur operasional; (3) memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari penyandang masalah kesejahteraan sosial dan sistem sumber lain; dan (4)  menerima imbalan jasa.

Pekerja sosial dalam melaksanakan praktik pekerjaan sosial mempunyai kewajiban: (1) memberikan pelayanan kesejahteraan sosial sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan kesejahteraan sosial penyandang masalah kesejahteraan sosial; (2) merujuk penyandang masalah kesejahteraan sosial kepada pihak yang terkait dengan penanganan masalah; (3) merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang penyandang masalah kesejahteraan sosial bahkan setelah masalah penyandang masalah kesejahteraan sosial dapat ditangani; dan (4) menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu pekerjaan sosial.

Pekerja sosial yang melakukan praktik pekerjaan sosiaal di Indonesia sekurang-kurangnya memiliki kualifikasi pendidikan di bidang pekerjaan sosial dan atau kesejahteraan sosial. Pekerja sosial  dapat memperoleh; (1) pendidikan; (2) pelatihan; (3) promosi; (4) tunjangan; dan atau (5) penghargaan. Ketentuan tersebut dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Penyandang masalah kesejahteraan sosial dalam menerima pelayanan kesejahteraan sosial pada praktik pekerjaan sosial, mempunyai hak; (1) mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang rencana dan tindakan intervensi pekerjaan sosial; (2) mendapatkan pelayanan kesejahteraan sosial sesuai dengan kebutuhan; (3) menolak rencana intervensi pekerjaan sosial.

Penyandang masalah kesejahteraan sosial dalam menerima pelayanan kessejahteraan sosial pada praktik pekerjaan sosial, mempunyai kewajiban; (1)  memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesejahteraan sosial yang dihadapinya; (2) mematuhi nasihat dan petunjuk pekerja sosial; (3)  mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesejahteraan sosial; dan (3) memberikan imbalan jasa atas pelayanan kesejahteraan sosial yang diterima.

Dalam rangka terselenggaranya praktik pekerjaan sosial yang bermutu dan melindungi penyandang masalah kesejahteraan sosial, perlu dilakukan pembinaan terhadap pekerjaan sosial yang melakukan praktik pekerjaan sosial. Pembinaan sebagaimana dimaksud dilakukan oleh Konsil Pekerjaan  Sosial Indonesia bersama-sama dengan organisasi profesi.

Untuk menegakkan disiplin pekerja sosial dalam penyelenggaraan praktik pekerjaan sosialn, dibentuk Majelis Kehormatan Disiplin Pekerjaan Sosial Indonesia. Majelis Kehormatan Disiplin Pekerjaan Sosial Indonesia merupakan lembaga otonom dari Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia. Majelis Kehormatan Disiplin Pekerjaan Sosial Indonesia dalam menjalankan tugasnya bersifat independen.

Majelis Kehormatan Disiplin Pekerjaan Sosial Indonesia bertanggung jawab kepada Konsil Pekerjaan Indonesia. Majelis Kehormatan Disiplin Pekerjaan Sosial Indonesia berkedudukan di ibu kota negara Republik Indonesia. Majelis Kehormatan Disiplin Pekerjaan Sosial di tingkat provinsi dapat dibentuk oleh Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia atas usul Majelis Kehormatan Disiplin Pekerjaan Sosial Indonesia.

Pimpinan Majelis Kehormatan Disiplin Pekerjaan Sosial Indonesia terdiri atas seorang ketua, seorang wakil ketua, dan seorang sekretaris. Keanggotaan Majelis Kehormatan Disiplin Pekerjaan Sosial Indonesia terdiri atas 5 (tiga) orang pekerja sosial dari organisasi profesi pekerjaan sosial, 2 (dua) orang pekerja sosial yang mewakili asosiasi Lembaga Kesejahteraan Sosial, dan  3 (tiga) orang yang mewakili dari asosiasi pendidikan pekerjaan sosial dan atau kesejahteraan sosial.

Untuk dapat diangkat sebagai anggota Majelis Kehormatan Disiplin Pekerjaan Sosial Indonesia harus dipenuhi syarat sebagai berikut; (1) warga negara Republik Indonesia; (2) sehat jasmani dan rohani; (3) bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia; (4) berkelakuan baik; (5) berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada saat diangkat; (6) bagi pekerja sosial, pernah melakukan praktik pekerjaan sosial paling sedikit 7 (tujuh) tahun dan memiliki surat tanda registrasi pekerjaan sosial; (7) bagi anggota perwakilan dari asosiasi pendidikan pekerjaan sosial, pernah mengajar pekerjaan sosial paling sedikit 7 (tujuh) tahun dan memiliki pengetahuan di bidang praktik pekerjaan sosial; (8) cakap, jujur, memiliki moral, etika, dan integritas yang tinggi serta memiliki reputasi yang baik.

Anggota Majelis Kehormatan Disiplin Pekerjaan Sosial Indonesia ditetapkan oleh Menteri atas usul organisasi profesi. Masa bakti keanggotaan Majelis Kehormatan Disiplin Pekerjaan Sosial Indonesia adalah 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.

Anggota Majelis Kehormatan Disiplin Pekerjaan Sosial Indonesia sebelum memangku jabatan wajib mengucapkan sumpah/janji sesuai dengan agama masing-masing di hadapan Ketua Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia. Sumpah/janji tersebut berbunyi sebagai berikut :

″Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk melaksanakan tugas ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada siapapun juga.

Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian.

Saya bersumpah/berjanji bahwa saya dalam menjalankan tugas ini, senantiasa menjunjung tinggi ilmu pekerjaan sosial dan mempertahankan serta meningkatkan mutu pelayanan kesejahteraan sosial.

Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia dan taat kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi Negara Republik Indonesia.

Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas dan wewenang saya ini dengan sungguh-sungguh saksama, obyektif, jujur, berani, adil, tidak membeda-bedakan jabatan, suku, agama, ras, jender, dan golongan tertentu dan akan melaksanakan kewajiban saya dengan sebaik-baiknya, serta bertanggung jawab sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat, bangsa dan negara.

Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menolak atau tidak menerima atau tidak mau dipengaruhi oleh campur tangan siapapun juga dan saya akan tetap teguh melaksanakan tugas dan wewenang saya yang diamanatkan Undang-Undang kepada saya ″.

 

Pimpinan Majelis Kehormatan Disiplin Pekerjaan Sosial Indonesia dipilih dan ditetapkan oleh rapat pleno anggota. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan Majelis Kehormatan Disiplin Pekerjaan Sosial Indonesia diatur dengan Peraturan Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia.

Majelis Kehormatan Disiplin Pekerjaan Sosial Indonesia bertugas; (1) menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin pekerja sosial yang diajukan; dan (2) menyusun pedoman dan tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin pekerja sosial. Segala pembiayaan kegiatan Majelis Kehormatan Disiplin Pekerjaan Sosial Indonesia dibebankan kepada anggaran Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia.

Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan pekerja sosial dalam menjalankan praktik pekerjaan sosial dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Pekerjaan Sosial Indonesia. Pengaduan sekurang-kurangnya harus memuat; (1) identitas pengadu; (2) nama dan alamat tempat praktik pekerja sosial dan waktu intervensi pekerjaan sosial dilakukan; dan (3) alasan pengaduan. Pengaduan tersebut  tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan.

Majelis Kehormatan Disiplin Pekerjaan Sosial Indonesia memeriksa dan memberikan keputusan terhadap pengaduan yang berkaitan dengan disiplin pekerja sosial. Apabila dalam pemeriksaan ditemukan pelanggaran etika, Majelis Kehormatan Disiplin Pekerjaan Sosial Indonesia meneruskan pengaduan pada organisasi profesi.

Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Pekerjaan Sosial Indonesia mengikat pekerja sosial, dan Konsil pekerjaan sosial Indonesia. Keputusan tersebut dapat berupa dinyatakan tidak bersalah atau pemberian sanksi disiplin. Sanksi disiplin dapat berupa; (1) pemberian peringatan tertulis; (2) rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik; dan/atau (3) kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan pekerjaan sosial dan atau kesejahteraan sosial. Ketentuan lain mengenai pelaksanaan fungsi dan tugas Majelis Kehormatan Disiplin Pekerjaan Sosial Indonesia, tata cara penanganan kasus, tata cara pengaduan, dan tata cara pemeriksaan serta pemberian keputusan diatur dengan Peraturan Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia.

Pendidikan Profesi Pekerjaan Sosial

Standar pendidikan profesi pekerjaan sosial disahkan oleh Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia. Standar pendidikan profesi pekerjaan sosial tersebut baik untuk pendidikan profesi pekerjaan sosial maupun untuk pendidikan profesi pekerjaan spesialis disusun oleh asosiasi institusi pendidikan pekerjaan sosial dan atau kesejahteraan sosial. Asosiasi institusi pendidikan pekerjaan sosial dan atau kesejahteraan sosial dalam menyusun standar pendidikan profesi pekerjaan sosial  berkoordinasi dengan organisasi profesi, Kementrian Pendidikan dan kebudayaan, dan Kementrian Sosial.

Pendidikan dan pelatihan pekerjaan sosial, untuk memberikan kompetensi kepada pekerja sosial, dilaksanakan sesuai dengan standar pendidikan profesi pekerjaan sosial. Setiap pekerja sosial yang berpraktik wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan pekerjaan sosial berkelanjutan yang diselenggarakan oleh organisasi profesi dan lembaga lain yang diakreditasi oleh organisasi profesi dalam rangka penyerapan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pekerjaan sosial. Pendidikan dan pelatihan pekerjaan sosial berkelanjutan tersebut dilaksanakan sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh organisasi profesi pekerjaan sosial.

 

 

Penyelenggaraan Praktik Pekerjaan Sosial

Setiap pekerja sosial yang melakukan praktik pekerjaan sosial di Indonesia wajib memiliki surat tanda registrasi pekerja sosial. Surat tanda registrasi pekerja sosial diterbitkan oleh Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia. Untuk memperoleh surat tanda registrasi pekerja sosial harus memenuhi persyaratan; (1) memiliki ijazah pekerjaan sosial dan atau kesejahteraan sosial, spesialis 1, dan spesialis 2 pekerjaan sosial; (2) mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji pekerja sosial; (3) memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental; (4) memiliki sertifikat kompetensi; dan (5) membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.

Surat tanda registrasi pekerja sosial berlaku selama 5 (lima) tahun dan diregistrasi ulang setiap 5 (lima) tahun sekali dengan tetap memenuhi persyaratan sebagaimana diuraikan di atas. Ketua Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia dalam melakukan registrasi ulang harus mendengar pertimbangan ketua divisi registrasi dan ketua divisi pembinaan. Ketua Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia berkewajiban untuk memelihara dan menjaga registrasi pekerja sosial.

Pekerja sosial lulusan luar negeri yang akan melaksanakan praktik pekerjaan sosial di Indonesia harus dilakukan evaluasi. Evaluasi tersebut meliputi; (1) kesahan ijazah;  (2) kemampuan untuk melakukan praktik pekerjaan sosial yang dinyatakan dengan surat keterangan telah mengikuti program adaptasi dan sertifikat kompetensi; (3) mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji pekerja sosial; (4) memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental; dan (5) membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.

Pekerja sosial warga negara asing selain memenuhi ketentuan di atas, juga harus melengkapi surat izin kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kemampuan berbahasa Indonesia. Pekerja sosial warga negara asing yang telah memenuhi ketentuan diberikan surat tanda registrasi pekerja sosial oleh Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia.

Surat tanda registrasi sementara dapat diberikan kepada pekerja sosial warga negara asing yang melakukan kegiatan dalam rangka pendidikan, pelatihan, penelitian, pelayanan di bidang kesejahteraan sosial yang bersifat sementara di Indonesia. Surat tanda registrasi sementara berlaku selama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang untuk 1 (satu) tahun berikutnya. Surat tanda registrasi sementara diberikan apabila telah memenuhi ketentuan sebagaimana diuraikan di atas.

Surat tanda registrasi bersyarat diberikan kepada peserta program pendidikan spesialis 1, dan spesialis 2  pekerjaan sosial warga negara asing yang mengikuti pendidikan dan pelatihan di Indonesia.  Pekerja sosial warga negara asing yang akan memberikan pendidikan dan pelatihan dalam rangka alih ilmu pengetahuan dan teknologi pekerjaan sosial untuk waktu tertentu, tidak memerlukan surat tanda registrasi bersyarat. Pekerja sosial warga negara asing tersebut harus mendapat persetujuan dari Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia. Surat tanda registrasi dan persetujuan tersebut diberikan melalui penyelenggara pendidikan dan pelatihan.

Surat tanda registrasi tidak berlaku karena; (1) dicabut atas dasar ketentuan peraturan perundang-undangan; (2) habis masa berlakunya dan yang bersangkutan tidak mendaftar ulang; (3) atas permintaan yang bersangkutan; (4)  yang bersangkutan meninggal dunia; atau (5) dicabut Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara registrasi, registrasi ulang, registrasi sementara, dan registrasi bersyarat diatur dengan Peraturan Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia. Pekerja sosial yang telah memiliki surat tanda registrasi mempunyai wewenang melakukan praktik pekerjaan sosial sesuai dengan pendidikan dan kompetensi yang dimiliki.

Setiap pekerja sosial yang melakukan praktik pekerjaan sosial di Indonesia wajib memiliki surat izin praktik. Surat izin praktik tersebut dikeluarkan oleh pejabat dinas sosial dan atau kantor kesejahteraan sosial yang berwenang di kabupaten/kota tempat praktik pekerjaan sosial dilaksanakan. Untuk mendapatkan surat izin praktik, pekerja sosial harus; (1) memiliki surat tanda registrasi pekerja sosial yang masih berlaku dari Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia; dan (2) memiliki rekomendasi dari organisasi profesi. Surat izin praktik masih tetap berlaku sepanjang surat tanda registrasi pekerja sosial masih berlaku.

Praktik pekerjaan sosial diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara pekerja sosial dengan penyandang masalah kesejahteraan sosial dalam upaya untuk penanganan masalah kesejahteraan sosial penyandang masalah kesejahteraan sosial.

Setiap pekerja sosial dalam melaksanakan praktik pekerjaan sosial wajib menyimpan rahasia pekerjaan sosial. Rahasia pekerjaan sosial dapat dibuka hanya untuk kepentingan penanganan masalah kesejahteraan sosial penyandang masalah kesejahteraan sosial, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, permintaan penyandang masalah kesejagteraan sosial sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan.

Pembinaan dan Pengawasan

Dalam rangka terselenggaranya praktik pekerjaan sosial yang bermutu dan melindungi masyarakat, perlu dilakukan pembinaan terhadap pekerja sosial yang melakukan praktik pekerjaan sosial. Pembinaan tersebut dilakukan oleh Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia bersama-sama dengan organisasi profesi.

Untuk melindungi masyarakat penerima jasa pelayanan kesejahteraan sosial dan meningkatkan mutu pelayanan kesejahteraan sosial dari pekerja sosial dibentuk Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia. Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia bertanggung jawab kepada Presiden. Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia berkedudukan di ibu kota negara Republik Indonesia.

Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia mempunyai fungsi pengaturan, pengesahan, penetapan, serta pembinaan pekerja sosial yang menjalankan praktik pekerjaan sosial, dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan kesejahteraan sosial. Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia mempunyai tugas; (1)  melakukan registrasi pekerja sosial; (2) mengesahkan standar pendidikan profesi pekerjaan sosial; dan (3) melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan praktik pekerjaan sosial yang dilaksanakan bersama lembaga terkait sesuai dengan fungsi masing-masing.

Standar pendidikan profesi pekerjaan sosial yang disahkan Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia ditetapkan bersama oleh Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia dengan asosiasi institusi pendidikan pekerjaan sosial dan atau kesejahteraan sosial.

Dalam menjalankan tugasnya, Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia mempunyai wewenang; (1) menyetujui dan menolak permohonan registrasi dpekerja sosial; (2) menerbitkan dan mencabut surat tanda registrasi pekerja sosial; (3)  mengesahkan standar kompetensi pekerja sosial; (4) melakukan pengujian terhadap persyaratan registrasi pekerja sosial; (5) mengesahkan penerapan cabang ilmu pekerjaan sosial; (6) melakukan pembinaan bersama terhadap pekerja sosial mengenai pelaksanaan etika profesi yang ditetapkan oleh organisasi profesi; dan (7) melakukan pencatatan terhadap pekerja sosial yang dikenakan sanksi oleh organisasi profesi atau perangkatnya karena melanggar ketentuan etika profesi. Ketentuan lebih lanjut mengenai fungsi, tugas, dan wewenang Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia diatur dengan Peraturan Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia.

Susunan organisasi Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia terdiri atas 3 (tiga) divisi, yaitu; (1) Divisi Registrasi; (2) Divisi Standar Pendidikan Profesi; dan (3) Divisi Pembinaan.

Pimpinan Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia terdiri atas 3 (tiga) orang merangkap anggota. Pimpinan Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia terdiri atas seorang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua. Pimpinan Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia bekerja secara kolektif. Pimpinan Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia tersebut adalah penanggung jawab tertinggi.

Jumlah anggota Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia 13 (tiga belas) orang yang terdiri atas unsur-unsur yang berasal dari; (1) organisasi profesi pekerjaan sosial 3 (tiga) orang; (2) asosiasi institusi pendidikan pekerjaan sosial dan atau kesejahteraan sosial  3 (tiga) orang; (3) asosiasi lembaga kesejahteraan sosial 2 (tiga) orang; (4) tokoh masyarakat 2 (dua) orang; (5) Kementrian Sosial 2 (dua) orang; dan (6) Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan 1 (satu) orang.

Tata cara pemilihan tokoh masyarakat diatur dengan Peraturan Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia. Keanggotaan Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia ditetapkan oleh Presiden atas usul Menteri. Menteri dalam mengusulkan keanggotaan Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia harus berdasarkan usulan dari organisasi profesi, asosiasi institusi pendidikan pekerjaan sosial dan atau kesejahteraan sosial, dan asosiasi lembaga kesejahteraan sosial.

Pimpinan Konsil Pekerjaan Sosial, dan pimpinan divisi dipilih oleh anggota dan ditetapkan oleh rapat pleno anggota. Masa bakti keanggotaan Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia adalah 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.

Anggota Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia sebelum memangku jabatan wajib mengucapkan sumpah/janji, menurut agamanya di hadapan Presiden. Sumpah/janji tersebut berbunyi sebagai berikut;

″Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk melaksanakan tugas ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada siapapun juga.

Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian.

Saya bersumpah/berjanji bahwa saya dalam menjalankan tugas ini, senantiasa menjunjung tinggi ilmu pekerjaan sosial dan mempertahankan serta meningkatkan mutu pelayanan kesejahteraan sosial.

Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia dan taat kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi Negara Republik Indonesia.

Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas dan wewenang saya ini dengan sungguh-sungguh saksama, obyektif, jujur, berani, adil, tidak membeda-bedakan jabatan, suku, agama, ras, jender, dan golongan tertentu dan akan melaksanakan kewajiban saya dengan sebaik-baiknya, serta bertanggung jawab sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat, bangsa dan negara.

Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menolak atau tidak menerima atau tidak mau dipengaruhi oleh campur tangan siapapun juga dan saya akan tetap teguh melaksanakan tugas dan wewenang saya yang diamanatkan Undang-Undang kepada saya ″.

 

Untuk dapat diangkat sebagai anggota Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia, yang bersangkutan harus memenuhi syarat sebagai berikut; (1) warga negara Republik Indonesia; (2) sehat jasmani dan rohani; (3) bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia; (4) berkelakuan baik; (5) berusia sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan setinggi-tingginya 65 (enam puluh lima) tahun pada waktu menjadi anggota Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia; (6) pernah melakukan praktik pekerjaan sosial paling sedikit 7 (tujuh) tahun dan memiliki surat tanda registrasi pekerja sosial, kecuali untuk wakil dari masyarakat; (7) cakap, jujur, memiliki moral, etika dan integritas yang tinggi serta memiliki reputasi yang baik; dan (8) melepaskan jabatan struktural dan/atau jabatan lainnya pada saat diangkat dan selama menjadi anggota Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia.

Anggota Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia berhenti atau diberhentikan karena; (1) berakhir masa jabatan sebagai anggota; (2) mengundurkan diri atas permintaan sendiri; (3) meninggal dunia; (4) bertempat tinggal tetap di luar wilayah Republik Indonesia; (5) tidak mampu lagi melakukan tugas secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan; atau (6) dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Dalam hal anggota Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia menjadi tersangka tindak pidana kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatannya. Pemberhentian sementara tersebut ditetapkan oleh Ketua Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia. Pengusulan pemberhentian tersebut diajukan oleh Menteri kepada Presiden.

Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia dibantu sekretariat yang dipimpin oleh seorang sekretaris. Sekretaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri. Sekretaris bukan anggota Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia. Dalam menjalankan tugasnya sekretaris bertanggung jawab kepada pimpinan Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia. Ketentuan fungsi dan tugas sekretaris ditetapkan oleh Ketua Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia. Pelaksanaan tugas sekretariat dilakukan oleh pegawai Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia. Pegawai tersebut tunduk pada peraturan perundang-undangan tentang kepegawaian.

Setiap keputusan Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia yang bersifat mengatur diputuskan oleh rapat pleno anggota. Rapat pleno Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia dianggap sah jika dihadiri oleh paling sedikit setengah dari jumlah anggota ditambah satu. Keputusan diambil dengan cara musyawarah untuk mufakat. Dalam hal tidak terdapat kesepakatan, maka dapat dilakukan pemungutan suara.

Pimpinan Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia melakukan pembinaan terhadap pelaksanaan tugas anggota dan pegawai konsil agar pelaksanaan tugas dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kerja Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia diatur dengan Peraturan Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia. Biaya untuk pelaksanaan tugas-tugas Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Pemerintah pusat, Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia, pemerintah daerah, organisasi profesi membina serta mengawasi praktik Pekerjaan Sosial sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing. Pembinaan dan pengawasan tersebut diarahkan untuk; (1) meningkatkan mutu pelayanan kesejahteraan sosial yang diberikan pekerja sosial; (2) melindungi masyarakat atas tindakan yang dilakukan pekerja sosial; dan (3) memberikan kepastian hukum bagi masyarakat, dan pekerja sosial.

Setiap orang dilarang menggunakan identitas pekerja sosial atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah pekerja sosial yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik. Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kesejahteraan sosial kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah pekerja sosial yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik. Ketentuan tersebut tidak berlaku bagi tenaga kesejahteraan sosial yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.

Kelembagaan Organisasi Profesi

Organisasi profesi dalam praktik pekerjaan sosial terdiri dari; (1) Ikatan Pekerja Sosial Indonesia; (2) Ikatan Pendidikan Pekerjaan Sosial Indonesia; dan (3) Asosiasi Lembaga Kesejahteraan Sosial.

Ikatan Pekerja Sosial Indonesia mempunyai fungsi pembinaan dan pengawasan kepada pekerja sosial yang menjalankan praktik pekerjaan sosial, dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan kesejahteraan sosial. Untuk menjaga dan menegakkan profesionalisme, organisasi profesi Ikatan Pekerja Sosial Indonesia menetapkan kode etik.

Ikatan Pekerja Sosial Indonesia mempunyai tugas; (1) memberikan rekomendasi kepada pekerja sosial dalam melakukan registrasi pekerja sosial; (2) memberikan rekomendasi kepada pekerja sosial dalam mengurus izin praktik; (3)  menetapkan standar pendidikan profesi pekerjaan sosial yang disahkan Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia bersama-dama dengan aosisasi institusi penedidikan pekerjaan sosial dan atau kesejahteraan sosial; dan (4) melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan praktik pekerjaan sosial yang dilaksanakan bersama lembaga terkait sesuai dengan fungsi masing-masing.

Dalam menjalankan tugasnya, Ikatan Pekerja Sosial Indonesia mempunyai wewenang; (1) menyetujui dan menolak permohonan rekomendasi untuk registrasi pekerjaan sosial; (2) mengusulkan untuk mencabut surat tanda registrasi pekerjaan sosial kepada Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia; (3) bersama-sama dengan Ikatan Pendidikan Pekerjaan Sosial merumuskan dan menyusun standar kompetensi pekerja sosial; (4) melakukan pengujian terhadap persyaratan registrasi pekerja sosial sebelum memberikan rekomendasi; (5) melakukan pembinaan bersama terhadap pekerja sosial mengenai pelaksanaan etika profesi yang ditetapkan oleh organisasi profesi; dan (6) melakukan pencatatan terhadap pekerja sosial yang dikenakan sanksi oleh organisasi profesi atau perangkatnya karena melanggar ketentuan etika profesi. Ketentuan mengenai fungsi, tugas, wewenang Ikatan Profesi Pekerjaan Sosial dapat diatur dengan Peraturan Ikatan Pekerjaan Sosial  Indonesia.

Organisasi profesi Ikatan Pekerja Sosial Indonesia dapat melakukan pelatihan pekerjaan sosial, untuk memberikan kompetensi kepada pekerja sosial, dilaksanakan sesuai dengan standar pendidikan profesi pekerjaan sosial. Dalam melakukan pelatihan pekerjaan sosial, Ikatan Pekerjaan Sosial Indonesia bekerjasama dengan Ikatan Pendidikan Pekerjaan Sosial.

Ikatan Pendidikan Pekerjaan Sosial Indonesia merumuskan dan menyusun standar pendidikan profesi pekerjaan sosial. Ikatan Pendidikan pekerjaan Sosial dalam menyusun standar pendidikan profesi berkoordinasi dengan organisasi profesi, asosiasi lembaga kesejahteraan sosial, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Kementrian Sosial. Bersama-sama dengan organisasi profesi Ikatan Pekerja Sosial Indonesia, Ikatan Pendidikan Pekerjaan Sosial Indonesia merumuskan dan menyusun standar kompetensi pekerja sosial.

Ikatan Pendidikan Pekerjaan Sosial melakukan pendidikan dan pelatihan pekerjaan sosial sesuai dengan standar pendidikan profesi pekerjaan sosial.  Ikatan Pendidikan Pekerjaan Sosial Indonesia juga dapat melakukan pendidikan dan pelatihan kepada pekerja sosial, untuk memberikan kompetensi kepada pekerja sosial, dilaksanakan sesuai dengan standar pendidikan profesi pekerjaan sosial. Ikatan Pendidikan Pekerjaan Sosial mempunyai kewajiban untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, dan teknologi pekerjaan sosial.

Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial melalui pembentukan lembaga kesejahteraan sosial. Lembaga kesejahteraan sosial dapat membentuk asosiasi lembaga kesejahteraan sosial. Lembaga kesejahteraan sosial dalam melaksanakan praktik pekerjaan sosial harus mempunyai pekerja sosial.

Asosiasi Lembaga Kesejahteraan Sosial bersama-sama dengan organisasi profesi Ikatan Pekerja Sosial Indonesia merumuskan kode etik. Asosiasi Lembaga Kesejahteraan Sosial dapat melakukan pelatihan pekerjaan sosial, untuk memberikan kompetensi kepada pekerja sosial, dilaksanakan sesuai dengan standar pendidikan profesi pekerjaan sosial. Dalam melakukan pelatihan pekerjaan sosial, asosiasi lembaga kesejahteraan sosial bekerjasama dengan Ikatan Pendidikan Pekerjaan Sosial.

Tanggung Jawan Negara

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah membina serta mengawasi praktik pekerjaan sosial  sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah  mempunyai fungsi pembinaan dan pengawasan kepada pekerja sosial yang menjalankan praktik pekerjaan sosial, dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan kesejahteraan sosial.

Pembinaan dan pengawasan yang dilakukan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah diarahkan untuk; (1) meningkatkan mutu pelayanan kesejahteraan sosial yang diberikan pekerja sosial; (2) melindungi masyarakat atas tindakan yang dilakukan pekerja sosial; dan (3) memberikan kepastian hukum bagi masyarakat penerima pelayanan kesejahteraan sosial, dan pekerja sosial.

  1. Ketentuan Sanksi

Setiap pekerja sosial yang dengan sengaja melakukan praktik pekerjaan sosial tanpa memiliki surat tanda registrasi pekerja sosial dari Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Setiap pekerja sosial warga negara asing yang dengan sengaja melakukan praktik pekerjaan sosial tanpa memiliki surat tanda registrasi sementara dari Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Setiap pekerja sosial warga negara asing yang dengan sengaja melakukan praktik pekerjaan sosial tanpa memiliki surat tanda registrasi bersyarat dari Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan identitas pekerja sosial atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah pekerja sosial yang telah memiliki surat tanda registrasi pekerja sosial dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kesejahteraan sosial kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah pekerja sosial yang telah memiliki surat tanda registrasi pekerja sosial dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), setiap pekerja sosial  yang melakukan praktik pekerjaan sosial yang tidak sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan.

  1. Ketentuan Peralihan

Pada saat diundangkannya Undang-Undang ini semua peraturan perundang-undangan yang merupakan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial yang berkaitan dengan pelaksanaan penyelenggaraan kesejahteraan sosial, masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini.

Pada saat diundangkannya Undang-Undang ini semua peraturan perundang-undangan yang merupakan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Penanganan Fakir Miskin yang berkaitan dengan pelaksanaan praktik pekerjaan sosial, masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini.